Am I?

Am I too silent?
Am I too shy?
Am I too afraid?
Am I too chatty?
Am I too annoying?
Am I too observant?
Am I too selfish?
Am I too caring?
Am I too disturbing?
Am I too much assumptions?
Am I too much thinking?
Am I too much loving?

Or
Am I not enough?

I am.

09.26//08.23.16

Lesung Pipit di Pipi Kiri

Namanya Dyah. Perawakannya sedikit mungil dengan rambut berombak sepanjang bahu. Sorot matanya begitu tajam mengilat tersembunyi di balik kacamata berframe silver. Namun senyumnya nampak ramah. Bila tersenyum lebar, muncul lesung pipit di pipi sebelah kirinya. Keunikannya tak berhenti di situ. Dahi Dyah memiliki semacam bercak tanda lahir kecil yang nampak samar bila hanya memandangnya sekilas. Sekasat mata mengamatinya, Dyah adalah seorang wanita yang tampil percaya diri dengan keriangannya yang menular.


Sekiranya itulah yang dirasakan Jep ketika bertemu Dyah. Mereka kenal sudah lama, mungkin sejak Jep masih asyik bermain dengan Ricoh KR-5 miliknya. Masa-masa itu, mereka sering nongkrong bersama kawan-kawan dekat mereka. Masa-masa itu, Jep pun sudah jatuh hati pada Dyah. Tapi jangan tanya alasannya, karena Jep pun sulit menjawabnya. Naif sekali kelihatannya, namun Jep pun tak luput mengutarakannya pada Dyah, yang tentu saja saat itu ditolak mentah-mentah. Terperanjat, tentunya. Jep pun berusaha untuk mengubur rasa yang dimilikinya sejak itu. Tapi apa daya, Jep justry menyimpan rasa kasihnya ke Dyah dalam arsip ketimbang ditimbun. Relasi mereka tetap dekat berjarak, di tengah-tengah lingkaran kuat pertemanan dekat mereka. Seringkali, tatapan dan kata-kata Dyah mendobrak ruang arsip Jep. Kiranya itulah yang diungkapkan Jep ketika ia dibuat kikuk oleh kehadiran Dyah. Rasa yang terus menerus tertambat pun segera dilarikan ke arsip milik Jep.


Hingga bertahun kemudian, arsipnya yang sedemikian sesak tak bisa lagi ditutup oleh Jep hingga ia kelimpungan. Jep menata dengan sekenanya, mengeluarkannya lembar demi lembar dengan kaku. Mau bagaimana lagi, Jep bukanlah seorang pujangga yang pandai meracik frasa. Terang sekali ia belepotan ketika menggoda Dyah. Setulus apapun bila tak piawai mengolahnya, godaannya selalu tampak murahan.


Mengenal Dyah bagi Jep nampak seperti menata puzzle. Sedikit demi sedikit, Jep semakin kagum dengan pribadinya, semakin hormat dengan prinsipnya. Jep lantas membulatkan tekadnya, untuk mengutarakan sekali lagi kepada Dyah. Bagaimanapun juga Dyah berhak untuk tahu bahwa Jep tetap jatuh hati padanya setelah sekian waktu. Tapi Dyah bukanlah wanita yang mudah untuk Jep dan ini disadarinya. Dyah dan Jep tak hanya terpisah secara jarak semata kali ini, namun juga secara friksi-friksi yang mewarnai kisah hidup mereka masing-masing di dunia yang sedikit berbeda. Jep pun mencoba membuat kesempatan-kesempatan untuk bertemu dengan pujaan hatinya, untuk berbincang dan bercanda, untuk saling menyemangati, untuk melepas rindu dan untuk mengungkapkan isi hati Jep.


Kesempatan itu sudah di depan mata ketika Dyah yang hendak ditemuinya justru jatuh sakit. Jep pun segera mencarinya sekedar untuk memastikan bahwa Dyah sudah berada di tangan yang tepat. Ketika Jep menemukan Dyah dengan senyum cekikiknya, rasa Jep karut marut. Ia sedih karena menemui Dyah justru di rumah sakit. Ia kecewa karena kini ia harus membuat kesempatan lain. Ia senang karena Dyah memanggil namanya. Ia bahagia karena rindunya sirna meski hanya sesaat.



Minggu, 7 Agustus.