Malam, sekitar pukul 7, suaranya terdengar untuk yang terakhir kalinya. Jengah dengan apa yang dikatakan orang lain, baik itu yang mengenal topengnya, entah yang mengenal sosoknya. Perubahan jelas tak mungkin terelakkan. Bagaimana menyikapinya, itulah yang menarik, dan ia menerima pilihan untuk meletakkan topengnya. Sindiran pun bisa keluar, semisal cari sensasi, namun ketika mencoba menembus pengalaman percakapan yang pernah kami alami, agaknya justru sebaliknya.
....

Jogja, kota pelajar. Tak hanya itu, juga kota para seniman. Konon kabarnya, pergaulan seniman atau setidaknya dunia seni di daerah istimewa ini terbagi menjadi dua blok, utara dan selatan. Bagaimana ini bisa terjadi, tentu panjang ceritanya, dan sebenarnya basi untuk diutarakan disini. Yang menarik adalah karakter dari dua blok tersebut. Dari cerita yang dirangkum tak sengaja dari beberapa pihak, blok utara jauh lebih aman dibandingkan dengan blok selatan. Intinya begini, bila berbuat satu kesalahan fatal, maka hidup si pembuat kesalahan akan habis dalam pergaulan blok selatan akan tamat. Poin utamanya disini adalah, mulut-mulut selatan seperti mulut program infotainment Jakarta. Kalau tak mampu menghadapi, lebih baik keluar. Itulah yang katanya terjadi, dan nampaknya dalam beberapa hal, memang kondisinya demikian. Mungkin bagi orang lain yang bersinggungan dengan dunia ini akan menganggap ini klise atau bagian dari rahasia umum belaka. Believe it or not, it doesn't matter. The important thing is just kept that as an info, not more, not less.
....
Pergaulan adalah hal yang utama, setidaknya di Jogja, if we want life goes on. Stereotipe (for me is a fact) yang ada adalah di jogja, seseorang akan dibayar dengan harga teman, 'rego konco', 'salaman kenceng', dan hampir tidak mungkin dibayar dengan harga profesional, kecuali ada dukungan dari sponsor besar seperti rokok. Fakta ini tak terbantahkan, sehingga persoalan networking di Jogja menjadi sangat penting. Ketika dari dua dongeng sebelumnya dicoba dicari benang hitamnya, yang muncul adalah identitas. Di satu sisi, identitas menjadi tidak murni ketika ada dualisme di dalamnya, dan dengan topeng yang ada, mencoba berjudi dengan segala kemungkinan, setidaknya untuk mendapatkan timbal balik dari respon-respon sosial yang diusahakan untuk dibangun. Sedangkan bagi pihak yang 'seek for the pure identity' adalah pihak yang tersadarkan sekaligus kecewa, bahwa dunia yang dimasukinya begitu munafik, tak hanya kepada orang lain, namun juga pada si ego.

Jarak adalah akibat yang muncul sekaligus sebab disini. Jarak menjadi tegas dan disadari dalam setiap sosialisasi yang dibentuk dan dibangun, untuk mencegah apa yang tidak dikehendaki dari tiap individu. Pada awalnya, terkesan bahwa ini hanya pada konteks pekerjaan, namun kenyataannya, logika yang keluar dari perilaku pihak yang tidak disukai atau mendapat "kartu merah" sudah tidak lagi sehat. Akhirnya, konteksnya pun meluas. Sementara itu, jarak menjadi sebab kenapa mereka menanggalkan dualisme identitas. Mereka enggan dengan adanya jarak, yang berati adanya pintu yang sengaja ditutup bermodal kecurigaan. Hal yang dicari dari pergaulan adalah kepercayaan, yang terekam dalam setiap keterbukaan pribadi individu, dan itulah esensinya, atau sari patinya. Namun, pada level masyarakat, setidaknya di Jogja dalam dunia seniman dan kawan-kawannya, esensinya telah bergeser, yaitu pada persoalan kemungkinan kerjasama yang sifatnya win-win solution at the end. Semua cerita ini, pada akhirnya membawa pada satu kenyataan, bahwa pelaku-pelaku dunia seni tak ubahnya para kapitalis yang berkubang dalam lumpur 'art' mereka, dimana ketika mengangkat sosok yang terkalahkan, hanya menjadi topeng semata. Setidaknya itu yang terbaca pada pergaulan yang dialami. Selanjutnya? Take it or leave it...

26/11/11, JNM.