Pihak Penjajah datang kembali ke tanah ini, menawar dan menghasut manusia-manusia lokal dengan segala impian yang memabukkan..
Manusia lokal yang mabuk seolah-olah tenggelam dalam pikirannya yang paling bodoh, dan menjadikan penjajah sebagai sang juru selamat yang akan mewujudkan impian mereka.

Mereka disodori rencana-rencana, gambaran-gambaran, yang seolah-olah nyata, dan mereka menjadi semakin mabuk dan tidak bisa mengolah cipta dan rasa mereka sendiri.


Dan mengubah diri mereka sendiri seperti robot yang hanya bisa diperintah kesana kemari layaknya orang bodoh. Terbelenggu oleh hasrat dan nafsu mengejar impian yang entah berada dimana keberadaannya.


Hasutan berhasil, aksi pun sukses. Penjajah menguasai, manusia lokal terbodohi. Impian lenyap, harta direnggut.

Mengeluh dan mengeluh. Orang lokal pun hanya bisa mengaduh. Kepada yang bijak mereka bertanya, ketika yang bijak hanya bisa diam. Mereka terbodohi, mereka mau dibodohi. Sungguh tindakan bodoh.

Yang bijak beri saran, yang bodoh tetap bodoh. Menyesal dan menyesal. Putus harapan dan hanya bisa pasrah. Yang bijak si toa hanya berharap pada yang muda, sementara yang muda berharap pada siapa? Yang toa yang berharap, yang muda yang beraksi. Yang muda sudah bodoh, aksinya pun bodoh. Lalu?

Sang Ibu hanya bisa menangis, meringis kesakitan, melihat anak-anaknya tak bisa berbuat banyak. Penjajah masuk, penjajah keluar. Manusia hidup dalam penjajahan. Tak hanya dijajah negerinya, tapi juga pemikirannya. Mau sampai kapan?

Sebuah cerita sederhana yang konyol tak bernyawa, tak berguna. Keputusan dibuat sedini mungkin menimbulkan kekacauan, sementara cerita ini hanyalah sebuah mimpi buruk yang mengganggu pemikiran yang terbodoh dari yang amat bodoh.

09.45/05 Mei 2010