Pak Pecon adalah seorang petani kelapa sawit di dusun Soak Pram yang memiliki 5 kapling lahan sawit. Dalam 1 bulan, kelapa sawit dipanen dua kali, yang mengikuti alur pembukuan perusahaan yang menjadi pembeli tetap lahan Pak Pecon. Bersama keluarganya, Pak Pecon mulai memanen pada pagi hari, dengan membawa beberapa peralatan dan juga bekal minuman.

Memanen kelapa sawit merupakan hal yang tidak mudah. Ketelitian dalam melihat dan menentukan buah yang siap ranum serta ketangkasan untuk mengambil buah sudah menjadi ketrampilan yang wajib bagi seorang petani kelapa sawit.
Salah sedikit, buah yang didapat bisa-bisa memiliki grading yang tinggi sehingga justru akan merugikan petani karena bilamana tidak, petani harus memperhitungkan buah sawit yang dipanen nantinya ketika ditimbang lalu diangkut ke perusahaan harus masih masak atau tidak busuk.Ketrampilan yang didapat oleh seorang petani macam Pak Pecon memang berdasarkan pengalaman saja, bukannya didapat dari penyuluhan yang didapat dari pihak pemerintah atau perusahaan yang memang kerap mengadakan program tersebut.


Kait, Tarik
Petani sawit menggunakan alat tradisional yaitu dodos, untuk menarik dahan sawit lalu menancapkan mata pisaunya ke tandan sawit dan menariknya.
Photobucket

Sudah Biasa
Menggunakan keranjang tradisional yang disebut ‘Oi’, seorang nenek mampu memanggul 2-3 tandan sawit dalam sekali jalan dimana 1 tandan bisa mencapai 30kg.
Photobucket

Sebulan Dua Kali
Para petani memanen sawit dua kali dalam sebulan, dengan jarak panen rata-rata 14 hari. Hasil panen pun dikumpulkan ke lokasi penimbangan yang tak jauh dari jalan truk.
Photobucket

Brondol Tanpa Grading
Dalam istilah perkebunan sawit, buah sawit yang rontok dinamakan brondol, dimana tidak memiliki ‘grading’ atau tidak memiliki berat kotor. Inilah sebabnya kenapa dalam penimbangan nanti perhitungannya 110 kg, bukannya 100kg tepat. 10kg disisakan untuk gradingnya.
Photobucket