Sabtu 26 Maret lalu, saya dan beberapa kawan mengantar kawan (baru) saya yang beberapa hari sebelumnya baru pulang dari New York, ke Solo. Ini sebenarnya bukan kali pertama saya pergi ke kota yang terkenal dengan event Solo Batik Carnival-nya, namun karena saya diajak dan kebetulan saat itu sedang jenuh dengan kondisi Jogja, maka ikutlah saya. Toh saya bawa kamera kesayangan saya yang baru saja saya ulik warnanya, dan momen Solo ini bisa jadi satu kesempatan tersendiri untuk nge-tes kamera disamping sudah beberapa bulan ini saya memang tidak memotret.

Sepintas, melewati jalanan utama Solo (Jl. Slamet Riyadi) tak ada satu pemandangan yang bagus. Satu hal yang baru bagi saya (tapi justru sangat tidak menarik) adalah saat itu jalan yang amat lapang ini macet total gara-gara ada pameran komputer! Kebosanan pun menghantui, tak hanya saya, namun juga beberapa dari kami. Akhirnya kami mendaratkan mobil sewaan di dekat alun-alun kota Solo, dan saya dengan kedua kawan pun jalan kaki dengan tujuan motret (bagi saya) dan dipotret (bagi kedua kawan saya). Kami berjalan menuju arah Keraton Biru dan setelah bosan menuju ke arah Pasar Batu Mulia lewat Pasar dekat bangsal keraton. Sepanjang perjalanan, saya pun mencari objek-objek yang asal sejujurnya tapi menarik bagi saya.





Ketika melihat kedua foto di atas, saya jadi teringat akan fungsi bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa biasa digunakan manusia untuk berkomunikasi, untuk merujuk pada satu hal, entah itu sesuatu yang berupa cipta, rasa, ataupun karsa yang bisa maupun yang tidak bisa ditangkap oleh kelima indra manusia. Disini, bahasa berperan sebagai salah satu bagian dari sistem tanda, yaitu sebagai penanda. Penanda ini akan terpusat pada satu hal, yaitu yang ditandai (misal objek material). Simbiosis antara keduanya kemudian menghasilkan makna.



Akan tetapi di lain pihak, melihat dari foto di atas, kadang penanda tak hanya berupa bahasa, namun bisa lewat (dalam konteks foto di atas) pagar yang mengitari batu. Pagar menjadi penanda riil yang sifatnya langsung ketika seseorang sudah mengerti makna dari konsep pagar itu sendiri. Bahasa dalam bentuknya yang nyata kemudian tidak diperlukan lagi disini.





Kedua foto di atas secara sengaja saya ambil dengan sudut tertentu tersebut, jadi terkesan "agak" absurd. Melihat pada pembahasan pada foto-foto sebelumnya, foto pertama dengan tulisan Di Sepanjang Supit Urang secara visual benar-benar membingungkan. Karena sebagai sebuah foto, tidak terlihat dengan jelas konteks yang terpampang disana yang bisa mengarahkan pada makna yang benar dari tulisan tersebut. Intepretasi yang terbangun bisa jadi hanya seperti ini: melihat dari background dan sudut pengambilannya, tulisan tersebut merupakan sebuah kumpulan kata yang bermakna peringatan atau pelarangan tertentu, bisa jadi dilarang parkir, dilarang berputar, dilarang berhenti, dilarang berjualan, dsb.Sedangkan pada foto kedua, kumpulan huruf dan angka yang tertera tentu berisi informasi tertentu, dan kemungkinan erat kaitannya dengan trotoar jalan. Tetapi bagi yang awam, bahkan saya pun, tidak bisa menangkap makna sesungguhnya dari bahasa yang hadir disana yang sifatnya sebagai penanda itu. Kehadiran objek-objek lainnya yang hanya berupa penggalan-penggalan juga tidak merujuk pada makna deretan huruf-angka tersebut, dan bahkan bila objek lainnya yang terpotong tersebut disajikan secara utuh pun juga tidak membuatnya semakin jelas. Nampak sekali bahwa konteks pun berperan besar disini untuk menjelaskan sesuatu yang ditandai, tak hanya dalam soal foto ini saja saya rasa.

Nyatanya, penanda dan yang ditandai pun belum tentu bisa bisa memproduksi makna sesungguhnya akan yang ditandai. Kehadiran konteks pun menjadi penting untuk memperjelas, terutama dalam hal yang sifatnya sudah mulai absurd. Mungkin itulah kenapa salah seorang senior saya selalu menekankan kata 'pikir' pada masa-masa produksi film pendek saat itu dengan kawan-kawan saya. Hmmm...runyam juga ternyata...