Pancamakara identik dengan malima (baca: molimo) yaitu madon, madat, mabuk, main, maling. Malima ini ketika memandangnya sebagai gejala budaya, posisinya adalah abu-abu.Dalam perkuliahan, karena waktunya tidak memungkinkan, maka yang dibahas hanya beberapa malima, salah satunya adalah madon (seksualistas).

Seksualitas,
Pada awal manusia menetap, laki-laki berburu, sementara perempuan beraktivitas di rumah. Perempuan menjadi dominan karena menguasai aset. Namun ketika kapitalisme muncul (dan karena ada pertukaran), di sisi lain perempuan statusnya menjadi sub ordinat, karena laki-laki yang keluar disini, untuk urusan politik, ekonomi, dll. Apabila menurut Marx, masyarakat terbentuk karena adanya penguasaan materi, bagi Freud, perang, agama, dll, itu semua awalnya dikarenakan adanya represi dari seksualitas.

Manusia merupakan Homo sacre (dari bahasa Yunani) yang berarti sakral. Karena sakral, manusia bisa dipuja, namun bisa dimusnahkan tanpa aturan. Ini berkaitan dengan seks. Seks yang merupakan sesuatu yang sakral mencoba dimusnahkan dengan cara direpresi selama berabad-abad, contohnya adalah tabu, sensorship, dll. Represi bisa terbentuk karena adanya kuasa di dalam diskursus tersebut. Diskursus negara mengenai seks salah satunya adalah dalam zona reproduksi. Ketika jaman kapitalisme awal, zona ini diupayakan untuk menekankan produktivitasa suplai buruh.

Adegan teatrikal wujud represi terhadap seks pada demonstrasi RUU APP.

Represi terhadap seks berada dalam ranah agama, pendidikan, pemerintahan, dan kesehatan. 'Sunat' merupakan bentuk represi terhadap seks yang sangat patriarki. Sunat pada laki-laki difungsikan untuk memberikan kenikmatan nantinya, sementara pada perempuan adalah untuk menekan birahi (ini oleh kaum feminis disebut sebagai pengebirian).

Manusia bersinggungan dengan benda lewat sensasi indra. Dari sini, informasi yang masuk ke otak tentang benda tersebut disebut representasi. Penganut Cartesian (Cogito Ergo Sum) berargumen bahwa representasi-representasi ini dipakai untuk hidup. Representasi ini sendiri bentuknya beragam, dan salah satunya adalah bahasa. Melalui bahasa, menjadi lebih mudah cara kerja pemaknaan sesuatu karena telah dikelompokkan secara tidak sadar melalui otak. Di kemudian hari, argumen Cartesian ini dibantah oleh beberapa pihak, yaitu Giddens, James Gibson, Heidegger, dan Bourdieu. Menurut Bourdieu, manusia bersinggungan dengan benda karena ada skill (yang dilatih). Ini seolah-olah menandakan bahwa tidak perlu ada representasi karena dilakukan lewat gestur, perilaku. Disini, manusia tidak sekedar menjalani hidupnya (living), tetapi juga dwelling atau trial dan error. Dari sinilah muncul adanya improvisasi dalam berperilaku.