Sedari senin itu,
Aku tidak bisa tidur dengan berkhayal seperti biasanya. Kecerobohan yang amat sangat menghantui pikiranku. Selalu saja. Aku sendiri tidak bisa membayangkan apa yang kupikirkan pada saat itu. Keputusan yang kuambil, entah bodoh, ceroboh, terburu-buru, atau apapun itu, tidak pernah terusir dari benakku. Belum pernah aku merasa kekalut ini. Ketiga melodi yang mengalun berulang-ulang awalnya kuusahakan guna mencoba membantu untuk berpikir keras akan masalah yang pelik ini. Namun apa daya, ketiganya justru membuatku makin terpuruk.

Keesokan paginya, semua terasa berantakan. Ketidaksiapan menghadapi ini sambil lalu kusampirkan untuk memenuhi kewajiban hari ini. Berangkat. Entah apa yang terjadi, apakah ini keajaiban ataukah ini memang sifat jelekku, pikiranku spontanitas berubah ketika mendapat lawan bicara yang tangguh. Kami mengobrol dengan topik yang berat menurutku. Berat karena baru kali ini kualaminya, yaitu pembicaraan tentang sebuah anggaran dasar sebuah badan usaha. Lawan mainku membuat pikiranku teralihkan hingga mampu menyita dari pukul 15 hingga pukul 23. Panjang dan melelahkan, namun tak bisa berhenti karena hujan dan petir pun tak jua berhenti menyambangi tempat kami berpijak saat itu. Akhirnya kami memutuskan untuk selesai, dan sebelum pulang, kusempatkan mengunjungi rumahku yang lain, sekedar mengembalikan barang. Sesampai di rumah, melodi merdu nan elok itupun mengiringiku tidur untuk mempersiapkan hariku esok seraya mengisi kembali bayangan-bayangan senin lalu.

Rabu itu, yang tak kusangka bahwa itu Rabu Abu, mengawali hariku. Menyiapkan kijang, ku melaju menuju tempat itu. Aku dan beberapa yang lain, mengangkut beberapa barang untuk persiapan sebuah jagongan. Senja mulai menghampiri. Aku menuju rumahku yang lain, karena seorang kawan mengajak untuk melakukan aktivitas yang menjadi rutinitas kami semenjak masa SMA dulu. Bersama mereka, aku kerap terdiam. Merasa aneh. Mereka menikmati suasana malam itu. Aku tidak. Suwung. Nuansa mulai beralih ketika teknologi menyambar kami dan aku mau tak mau mengikuti alur yang sedang berjalan. Bukan tanpa apa, aku cuma ingin mereka tak tahu apa yang berada dalam pikiranku, seperti biasanya. Namun meski mereka tak tahu kegalauanku yang sejujurnya, mereka seolah berusaha menghibur diri, dan itupun sedikit berefek pada diriku. Nyatanya, kami menyelesaikan rutinitas ini lebih cepat dari biasanya, setelah teknologi tidak bisa memenuhi hasrat kami semua. Perjalanan pulang menuju singgasana kucoba mencari melodi yang seirama dengan pikiranku. Green Day. Mereka kupaksa bernyanyi berulang-ulang, tak peduli aki mobilku akan jebol bila kutambah volume suaranya. Malam ini aku juga kembali diiringi tiga hal terbaik yang berusaha meninabobokanku dengan suara penuh ambigu yang terdengar seolah mengecam tindakanku yang lalu. Ya, semenjak senin itu aku benar-benar tidak berkutik. Inilah yang pertama kualami. Tiga hari, dengan lagu tanpa cela, menggodaku tanpa henti hingga akupun bingung dibuatnya.

Pagi menyambut, mengubah tanggal menjadi angka dua tiga. Angka keramat. Pagi ini berjalan seperti biasa, namun tak disangka gaung bersambut. Sebuah pesan sampai. Rencana kususun. Dua benda, warisan untukku, kuletakkan ke singgasanaku. Secepatnya kuraih lagi sepeda motorku melaju ke tengah kota. Janji ini tidak boleh tidak untuk dilewatkan. Perjalanan kala itu cukup mengesalkan. Hujan mencoba bermain-main denganku. Aku tidak suka ini. Meski begitu akhirnya aku sampai di tempat ini. Sebuah tempat favorit. Ia sudah menunggu. Aku memesan minuman. Aku batalkan ketika melihat di meja sudah tersedia minuman favorit. Ini sudah dua hal favorit. Aku senang. Kami memulai berhadap-hadapan. Disini aku mencoba tersenyum, kusembunyikan semuanya. Aku mengikuti alurnya. Aku tak berkomentar apapun. Aku tak berbicara lebih jauh. Maklum, ketakutan menghampiriku terus yang membuat pikiranku meracau. Ia tersenyum, pahit, tak kuasa menahan gejolak. Akhirnya ia pergi. Oke, aku pun terdiam. Segera saja kebodohan melandaku. Kikuk dengan sekitar, kucoba melawan dengan sigaret. Tak bisa berbuat apa-apa. Aku kembali menuju tempat peraduan. Seketika kucoba melawan ini sekuatku. Kualihkan dengan menyimak novel Omerta karya Mario Puzo. Ini harus bisa menyekapku. Ketika pesan datang, kubalas. Novel setebal tiga senti itu kubaca habis saat itu. Namun pikiranku kembali.

Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri di tengah alunan melodi tanpa cela itu. Ini yang terbaik. Sifat sentimentil khas virgo segera memenuhi ruangan 3x3 itu. Aku tak kuasa lagi. Aku yakinkan diriku sendiri kembali bahwa langkah ini yang terbaik. Pengorbanan ini harus tidak sia-sia. Meskipun aku tidak bisa menghilangkan rasa ini. Rasa yang terbina dengan alur yang naik turun selama 3 tahun lebih. Bajingan. Hari ini benar-benar keramat, dan aku pikir diriku benar-benar seorang keparat. Namun apa daya, ini tidak bisa dilanjutkan. Meneruskan berarti mengulangi, dan janjiku tak pernah bisa kutepati, dan janji terakhir yang terikrar terpaksa harus diingkari. Pembelaan terhadap diri sendiri musnah sudah. Rasa penyesalan selalu saja berusaha merayu, namun ini harus kutolak. Momen ini meski sangat kacau dan amat tidak tepat, namun aku hanya bisa berharap. Berharap dengan ketika ia bisa melewati yang satu ini, meski dengan susah payah, niscaya kedepan ia bisa melalui sisanya dengan baik, dan mendapat kembali apa yang direnggut dari dirinya. Aku hanya bisa berharap ini.

Aku mengalah, alunan itu terus menghukumku dengan lirik-lirik puitiknya yang kutangkap secara kontradiktif. Aku menyesal. Sentimentilku terus mengerang. Kehadirannya dalam bingkai itulah yang terus membuatku teringat peristiwa keramat siang tadi. Namun sekali lagi, apa dayaku? Beban berat sudah kupikul sebelum masanya, dan keriuhan pekerjaan mericuh pula pikiranku. Sementara rencana akademisiku berantakan total. Aku sungguh tak kuat dengan beban-beban ini. Ketika aku berusaha melepas salah satunya, mereka selalu menarikku kembali, mengisiku dengan imaji-imaji kebaikan yang tak kuasa kutolak. Bagaimanapun aku berutang budi pada mereka atas segala apa yang sudah kudapat semenjak SMA. Disisi lain, mencari singgasana baru untuk mengumpulkan yang tercecer dari mereka yang sedarah denganku, tidak mudah. Meski calon sudah kami dapat, namun harapan kami masih fana sampai saat ini. Aku harus menuntaskan yang satu ini, agar tak menyita perhatianku lebih lanjut. Disisi lain, ia yang berada 200km jauhnya membuatku merasa sangat tak berdaya. Menemuinya minggu lalu membuatku semakin bingung. Permintaannya nampak sulit untuk kupenuhi. Lagi-lagi aku lebih memprioritaskan pekerjaan yang semakin membayang dan penuh kejutan akhir-akhir ini, yang membuatku sulit untuk membuat rencana. Apa pula yang harus kuperbuat? Pikiranku terlalu menyitaku. Tenggelam di dalam diri sendiri. Ini buruk, dan harus diakhiri. Sempat terbesit hal konyol yang pernah hampir kulakukan 10 tahun silam.

Egoku memang sangat besar. Aku tidak bisa berlindung pada lajur Adamku. Ini aku, aku sendiri yang membentuknya selama ini. Anjing. Bingung. Keparat. Aku sadar. Mario Puzo benar. Kaumku hanya berlindung pada harkat dan martabat ego, untuk bisa setara dengan yang lain. Kaumku sangat lemah pada kaum lainnya. Mereka tercipta kuat di dalam, sementara kami lemah. Kami berlindung pada paradigma dan jubah kami yang palsu, sementara mereka memang kenyataannya menakjubkan dan hebat. Ahh…tengik. Pertama kali kualami hal ini, namun aku sudah jatuh terpuruk untuk kali kedua. Malam pun kuakhiri dengan pikiranku yang semakin belingsatan kemana-mana.

Maaf. Aku harus melakukan ini. Bila tidak, keluh kesah hanya akan terus berulang macam melodi usang ini. Sekali lagi terima kasih, dan maaf. Biarlah berai, karena ini yang terbaik. Majulah, tinggalkan yang lalu, biarlah itu terbingkai manis dalam figura monyetku. Selamat malam none.

Sebuah pojok, 25 Januari, pukul 1.