Ketika membaca karya sastra posmodern Berger, saya membayangkan bentuk posmodern yang bisa jadi paling awal sekaligus paling tepat adalah foto. mengapa foto?apa kaitannya dengan posmodernisme itu sendiri?saya akan mencoba memaparkannya dari hasil pemahaman saya pribadi akan tulisan Berger. Namun sebelum kita berbicara tentang foto, ada baiknya saya kemukakan analisis saya mengenai tiga sifat dasar dunia posmodern, yang dalam topik kali ini sangat penting untuk jadi pijakan dalam menjelaskan keterkaitan dengan foto.

Tiga sifat dasar
Dunia posmodern menurut saya memiliki beberapa sifat dasar. Pertama-tama, ia merusak segala. Semua produk-produk budaya yang telah dihasilkan baik yang sifatnya asli maupun reproduksi, baik yang materiil maupun tidak, dilahap oleh posmodern dalam bentuk yang bisa sama (artifisal) hingga bentuk yang sama sekali berbeda. ia merobohkan citra yang dibangun dari beragam simbol dengan mudahnya dan dibuatnya sama sekali hampa. Perkembangan teknologi dan media yang menjadi kekuatan utama posmodern dalam mengobrak-abrik tatanan kehidupan yang sudah ada. Satu contoh, adanya kartu elektornik seperti kartu atm membuat kehidupan manusia berubah total. Apabila dulu kita membayar tagihan dengan mendatangi loket-loket pembayaran secara langsung, dengan adanya atm sekarang kita hanya perlu berhadapan dengan mesin. interaksi pun berubah dari yang sebelumnya antar manusia, sekarang menjadi manusia dengan mesin. Bahkan, dengan diterbitkannya beragam kartu elektronik lainnya (kartu pelanggan, kartu diskon, kartu anggota) yang juga memiliki tingkatan-tingkatan tertentu membuat kita manusia sudah layaknya hidup seperti robot, yang seolah-olah hidup hanya dari kartu. Tanpanya, kita tak bisa membayar tagihan, masuk ke perpustakaan dan meminjam buku, atau lebih jauh lagi tidak bisa menjadi pemilih. Prinsip instan yang diusung dalam teknologi jelas membuat kita mati kutu bila tidak adanya kartu-kartu elektronik tersebut.

Segala hal yang dicap posmodern mengandung unsur absurditas di dalamnya (dan ini merupakan sifat dasar yang kedua pula). Absurditas ini ada karena wujud dari posmodern tidak ada yang bisa berdiri sendiri. Semuanya berelasi satu sama lain. Kepaduan inilah yang acapkali kerap membingungkan kita dalam meneliti satu fenomena posmodern tertentu, karena jangkauannya yang maha luas dan tak berbatas. Adanya pembatasan-pembatasan justru seolah membuat analisis kita menjadi dangkal. Oleh karenanya, banyak hal yang berbau posmo kemudian oleh para ilmuwan sosial dan para filsuf besar dipandang tanpa makna, atau menurut saya, kata yang lebih tepat adalah hampa. Hampir segala hal yang ada sekarang semuanya abu-abu. Mungkin itulah kiranya sekarang ini kita kerap takut pada semua yang berada pada tataran ambang ini, seperti misalnya orang Timur Tengah yang ditakuti oleh oleh orang Amerika. Wajah yang jelas memiliki karakter khas ini menjadi mimpi buruk bagi Amerika, dan dari situ banyak tindakan bodoh dan berlebihan dilakukannya, yang jelas menjadi bulan-bulanan masyarakat lainnya. Atau bila kita melihat ke ranah yang lebih lokal, fenomena kotak-kotak bingkisan menimbulkan ketakutan tersendiri bagi yang menemukan, sehingga banyak yang melihatnya sebagai bom. Dua hal tersebut terekam jelas dalam ingatan kita, dan berkaitan satu sama lain, meski terpisah secara kontingen. Lagi-lagi kita kembali pada kekuatan media dan teknologi yang menjadi topang dunia posmodern, atau gabungan keduanya yang terangkum menjadi satu yaitu internet. Celakanya pula, sekarang kita sudah terjebak dalam dunia internet, dunia yang sesungguhnya sangat abu-abu dan sangat posmo!

Sifat dunia posmodern yang ketiga sekaligus yang terakhir ialah ia mewabah. Posmodern, bisa jadi adalah satu-satunya penyakit yang digemari (baik secara sadar maupun tidak) oleh kita manusia. Kesanggupannya membelah diri ke beragam unsur budaya manusia membuat kita sekali terjatuh sangat sulit untuk bangun kembali. Ilmuwan sosial di planet ini sendiri masih berkubang dalam apa itu posmodernisme (bahkan tak jarang saling "adu jotos"), belum pada tahap bagaimana kita bisa keluar. Adanya internet yang membuat kita hidup semakin global semakin mempermudah kita terkena wabah posmodernisme. bahkan kehidupan suku bangsa-suku bangsa yang dikatakan terasing pun sudah tak pantas lagi disebut demikian, karena sudah bercampur-baur dalam tatanan pengetahuan kita. Suku bangsa-suku bangsa yang benar-benar terasing menurut saya adalah suku bangsa yang sama sekali tidak kita ketahui sama sekali keberadaannya, yang lebih pantas kita sebut saja sebagai alien. Atau bila menurut para pakar posmo, kita sendirilah yang menjadi alien, sementara mereka yang terasing itulah manusia yang sebenarnya. Kedekatan dengan dunia posmodern menandakan keterputusan dengan dunia. Bagaimana tidak? Kita sekarang hidup di jaman internet. Internet, atau secara lebih luasnya saya sebut saja dengan dunia wireless, merupakan dunia kita yang baru. Hidup kita sudah seperti apa yang digambarkan pada film animasi Wall-E, hanya soal teknologi yang dipertontonkan dalam film tersebut bisa jadi hanya tinggal menunggu waktu saja, sementara sisanya, kita sudah berada pada jalur yang sama. Oleh karena itu, berterimakasihlah pada internet, karena kita sekarang terjangkit virus posmodern!

Keterkaitan dengan foto

Seperti kita tahu, foto adalah gambar yang memiliki dimensi panjang dan lebar tertentu dan terbatas. Gambar yang muncul dalam foto sangatlah beragam, tergantung dari keputusan si pemotret akan menekan tombol rana-nya ke arah mana. Menurut salah satu dosen etnofotgrafi saya, dan kiranya dimaklumi oleh teoritikus yang membidangi fotografi, dengan memotret, kita akan mengabadikan satu momen tertentu, yang kemudian nyawa dari objek yang kita potret akan terambil oleh foto tersebut, atau dalam bahasa ringkasnya, dengan memotret, kita membunuh objek kita selama satu detik. Argumen ini jelas pada awalnya justru membingungkan saya, namun setelah saya coba pelajari lebih lanjut, argumen dosen saya ini tidak salah. Setiap momen yang terekam dalam foto, akan memiliki ekspresi tertentu si objek, yang sangat sulit untuk didapatkan kembali. Bahkan objek yang dipotret pun belum tentu bisa mengulangi ekspresinya yang dipotret tersebut. 

Ekspresi bisa diulang, tapi tak pernah sama.

Dari sini, nyawa ekspresi tersebut, tersita dan terkurung dalam foto, atau pada tataran yang lebih umum, nyawa objek akan terkurung di dalam foto. Masalahnya disini, usaha foto memenjara objek disini lantas tidak bisa segera tersampaikan maknanya dengan baik kepada penonton, apalagi bila tanpa adanya sebuah caption yang menyertainya. Itulah kenapa dalam dunia antropologi visual, lebih khususnya lagi pada area etnofotografi (istilah ini dibuat oleh P.M. Laksono), informasi yang bisa didapat dalam sebuah foto hanyalah apa yang diperlihatkannya. Pada akhirnya, pemaknaan pada foto pun bersifat dangkal. Bagaimana dengan ranah yang lain? Sama saja. Satu-satunya penggunaan foto yang memungkinkan untuk tidak dibatasi dalam memaknainya ada pada saat foto itu ada/dianggap sebagai seni rupa. Akan tetapi, dunia seni rupa adalah dunia yang terlampau liar, yang tidak memiliki aturan baku mengenai sistem klasifikasi simbol, dan agaknya terlalu panjang jika kita membahas sampai sejauh itu.

Kedangkalan sebuah foto juga bisa dilihat dari jangkauannya yang terbatas, baik itu secara dimensi panjang lebar sebuah ukuran foto maupun jangkauan sudut areal subyek terpotret. Lalu pula ditambah dengan pemilihan waktu pengambilan gambar yang demikian selektif, yang biasa dilakukan oleh banyak pemotret. Penentuan timing ini biasanya bertujuan untuk mendapatkan gambar yang ‘klimaks’, yang tepat apa adanya (baik secara ekspresi, bentuk, dan/atau suasananya). Pembatasan-pembatasan ini jelas sekali akan menambah pemaknaan pada foto yang hanya sampai pada tataran permukaan. Bila dunia posmodern menawarkan berbagai perspektif dalam melihat sesuatu meskipun itu dangkal, hal serupa juga terjadi pada foto. Subyek yang hendak dipotret tentunya bisa diambil dari berbagai sudut (angle), dimana pasti menawarkan wujud yang berbeda, namun maknanya tetap flat. Ciri-ciri tersebut membuat foto merupakan bentuk dari dunia posmodern, yang bisa jadi paling awal.

Apa saja informasi yang bisa kita dapat dari foto diatas?

Foto, mengandung unsur realita di dalamnya. Gara-gara itulah foto dibutuhkan dan merambah ke berbagai segi kehidupan manusia pula. Ia hadir sebagai sarana komunikasi yang otentik (meski otentisitasnya kerap sengaja “dipermainkan”), dan karenanya bisa hadir dimana-mana, sehingga tak heran bila ada sebutan ‘manusia makhluk visual’. Jelaslah kemudian jikalau penggunaan foto itu mewabah, layaknya posmodern yang merasuk segala lini manusia.