Siang, sekitar pukul 14.30 WIB, aku terbangun setelah adikku berulang kali memaksaku bangun. Aku tahu, saat itu aku bersama adikku harus berkendara jauh ke kota Bantul, untuk sedianya menghadiri resepsi tetangga kami sewaktu di Cilacap dulu. Ibu juga sudah mengingatkanku lewat pesan singkat semalam. Jujur saja badan ini terasa malas untuk beranjak, selain aku belum memenuhi jam tidur sewajarnya, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan tetangga kami yang akan menikah ini, yaitu mbak Lis. Dulu sewaktu SD pun aku tidak memiliki komunikasi yang intens dengannya, justru sebaliknya dengan adiknya, mas Go (Yugo), meskipun rumah kami dulu hanya berjarak 5 meter saja dari beranda kami. Tentunya ini dapat dipahami, karena ada perbedaan umur yang cukup jauh, dan dengan situasi dimana saat itu aku masih anak-anak, ngobrol atau bermain dengan orang yang jaraknya 5 tahun lebih itu adalah hal yang membosankan menurutku, ya, kala itu.

Namun akhirnya aku pun terbangun. Nyatanya adikku belum juga mandi, padahal dia sendiri yang memaksa aku bangun untuk segera berangkat karena sudah telat. Maklum, undangan (yang juga aku tidak pernah lihat) mengatakan resepsi pukul 13.00 WIB. Mungkin saja adikku juga tidak berniat untuk pergi bila bukan diminta oleh ibu kami. Tapi ya sudahlah, itung-itung menjaga relasi kekeluargaan yang sudah terbentuk belasan tahun. Setelah bersiap-siap, akhirnya kami pun berangkat, mencoba mengejar waktu, mesti juga tahu tidak memberi dampak apapun terhadap acara resepsi, yang aku yakin juga sudah selesai.

Jalanan Jogja kala itu tidak terlampau ramai (meski ini wajar 3-4 tahun yang lalu). Biasanya, pukul tiga sore, jalanan menuju perempatan ringroad Jakal padatnya bukan main. Belum lagi ketika sudah sampai perempatan MM UGM. Biasanya, 20 menit untuk sampai perempatan Mirota Kampus. Namun saat ini, saya cuma butuh 5 menit. Saya pun coba memilih jalan yang menghindari hentian lampu lalu lintas. Meski motor tidak bisa melaju secara maksimal, setidaknya kami tidak perlu berhenti menunggu bergantinya lampu merah, walau hanya barang 1 menit.

40 menit berselang, akhirnya kami sampai di gang masuk lokasi resepsi yang juga rumah keluarga Mba Lis, dan semakin yakin ketika tidak ada keramaian di sepanjang gang, bahkan umbul-umbul dari janur pun sudah tak tampak. Nyatanya betul perkiraanku, begitu sampai, yang kami temui hanyalah tenda resepsi yang melompong, hanya berisi manusia-manusia hilir mudik yang sedang bongkar muat peralatan resepsi. Kami pun tak sengaja disambut oleh Pak Kardiyo, yang pula sibuk menyapu jalan depan rumah. Akhirnya setelah bertegur sapa (dan masih berada di motor tentunya), aku pun melenggang menuju parkiran di rumah Pak Kardiyo, orang tua Mbak Lis.

Sesampai di rumah yang ramai, aku melihat beberapa orang sedang bersantai di beranda sambil berbincang satu sama lain dengan rupa yang masih belepotan dengan rias yang belum tuntas hilang. Segeralah adikku dan aku bersalaman satu-satu dengan siapapun itu, layaknya tamu yang tak tahu malu datang terlambat. Kami pun akhirnya masuk ke dalam rumah, yang juga tak kalah sibuk dengan bapak-bapak di areal resepsi tadi. Ada yang sedang membungkus makanan sisa resepsi yang teronggok hingga di lantai, ada yang sibuk mencari gelas katering untuk es krim, ada pula yang hanya duduk di ruang keluarga sambil berbincang dan menonton sinetron di televisi. Ketika kami dipersilakan duduk, Mbak Lis, lalu adiknya yang bungsu, Mbak Rita, juga keluar sejenak dari keriuhan paska resepsi demi menjaga kesantunan laiknya tuan rumah. Sayangnya, mas Go tidak berada di rumah, karena dia sedang mengantar salah seorang kerabat ke stasiun bersama istri dan anaknya. Ini membuat aku tidak bisa bebas berbasa-basi dengan keluarga Pak Kardiyo ini. Untungnya, adikku segera aktif untuk memulai dan terus memulai pembicaraan dengan Mbak Lis, Mbak Rita, ataupun dengan Pak Kardiyo yang juga akhirnya duduk bersama kami di ruang tamu. Ya, situasi saat itu benar-benar membuatku jengah dan sedikit canggung. Pada setiap pembicaraan, misalnya dengan Mbak Lis, konsentrasi kerap tak hinggap di antara kami. Nampak sekali Mbak Lis sebagai ‘ratu sehari’ itu benar-benar menjadi sosok yang sentral, karena kerap menanggap banyak orang yang lewat kesana-kemari, dan membuat kami seolah yang justru mengganggu dan seperti ‘tak diundang’. Belum lagi mbak Rita yang bolak-balik ke dapur, menyediakan sajian resepsi tepat ke hidung kami, membuat aku semakin tidak nyaman. Merepotkan sekali ya?

Untunglah, adikku juga membawa tanda mata, meski sebenarnya bukan untuk pengantin baru, tapi lebih ke pak Kardiyo. Adikku memberikan teh celup sekotak, kesukaan pak Kardiyo, yang dititipkan oleh ibuku kepada adikku. Yah, setidaknya bisa (sedikit) menutupi rasa malu kami, atau aku setidaknya. Mbak Lis pun menerima pembawaan adikku seraya mengucapkan terima kasih, dan setelahnya segera mempersilahkan kami untuk makan. Apa yang disajikan cukup beragam dan nampaknya menu yang cukup lengkap untuk sebuah resepsi sederhana. Ada galantin, capcay, sayur, dan daging gurameh berbalut tepung roti. Minumannya berupa campuran agar-agar dengan santan berwarna kecoklatan yang memiliki rasa manis gula jawa yang biasa dicampur pada kolak, setidaknya itulah pengakuan adikku yang mencicipinya. Deskripsi yang diungkap adikku membuat seleraku untuk menenggak minuman itu pun hilang. Aku lebih memilih air putih dan juga es krim dungdung yang datang terakhir. Kami berdua pun mulai makan tanpa lupa untuk ‘minta ijin’.

Obrolan-obrolan ringan dengan tema nostalgia pun keluar dari bibir kami, lalu dilanjut dengan pertanyaan-pertanyaan yang standar diutarakan kepada kawan yang lama tak bersua, seperti, “kerja dimana? Rumahnya dimana sekarang? Kok belum selesai kuliah? Si itu masih disini?”. Pertanyaan seputar pernikahan justru jarang kami ungkapkan sepanjang bertamu, selain “ketemu dimana, gimana (proses) acara nikahnya? Siapa saja yang datang dari Cilacap?”. Sejam berlalu, dan aku memutuskan sudah saatnya untuk kami undur diri, melihat Pak Kardiyo juga sudah lenyap dari pandangan kami (dan belakangan baru kami tahu kalau beliau sudah merebahkan diri di kamar karena kelelahan). Bu Kardiyo, yang sebelumnya sibuk di belakang mencari-cari gelas es krim yang hilang (yak, itu beliau yang mondar-mandir sedari tadi), pun mencegah kami untuk tidak segera pulang, entah kenapa. Beliau pun meminta kami untuk duduk kembali sembari beliau meminta mbak Rita untuk menyiapkan makanan untuk di rumah, karena tahu kami sudah tidak tinggal di kos yang terpencar satu sama lain. Aku dan adikku pun segera menolak dengan halus, dan akhirnya berhasil, sebelum akhirnya kami dihadapkan pada kerepotan yang lain. Bu Kardiyo memberikan sejumlah uang untuk adikku, yang dengan semangat (di awal) tidak mau diterimanya, namun akhirnya menerima dan berterima kasih. Dasar..! Walaupun begitu, di perjalanan nanti, aku akhirnya juga meminta bagian dari pemberian bu Kardiyo :P (maklum, lagi tidak ada pemasukan sementara uang di dompet raib entah kemana).

Berkunjung ke ‘mantan’ tetangga memang menjemukan dengan segala tetek bengek yang mungkin membuat aku harus mengingat keras memori masa lalu untuk diungkap berulang kali. Namun aku juga tahu, bahwa menjaga relasi adalah sesuatu yang krusial, seberapapun menyebalkannya itu. Karena relasi-lah yang membuat kita bertahan, dan aku yakin itulah yang membuat ibuku kuat dalam menjalani kesehariannya di Cilacap sendirian. Maka dari itu, sepele apapun sampai membuatku gemas pun, semua yang ibu-ku minta ataupun suruh, selalu aku usahakan untuk melakukannya, toh sedikit-banyak aku juga mendapat hal positif dari menjalankannya. Dan toh lagi, aku belum bisa membalas segala jasa dengan memberikan prestasi-prestasi yang ingin ia dengar dan alami dari apa yang kulakukan. Maka dari itu, sekecil apapun bermaknanya itu, aku selalu berusaha untuk menyanggupi kemauan beliau, karena hanya itu hadiah yang sejauh ini aku bisa berikan untuk ibuku yang berulang tahun 24 Oktober lalu. Sekali lagi selamat ulang tahun Ibu, dan meski tak pernah kuucapkan secara langsung, aku yakin Ibu tahu kalau aku sayang Ibu.

28 Oktober, 3:50 WIB.