Duduklah seorang tua, pada satu kursi dengan warna legam, lengkap dengan sigaret, korek, dan segelas kopi hitam yang selalu siap di atas meja kecil bundar di samping kirinya. Matanya tajam dalam menatap meski berada di-balik kacamata. Namun hari ini, kacamata tak tersemat dia antara kedua kupingnya. Pula tak sibuk membolak-balik koran yang biasanya selalu menemaninya di pagi hari berkontemplasi.

Seketikalah ia bercerita begitu saya turun dari kamar. Tujuan awal yang hanya berusaha mengentaskan dahaga semata, kali ini saya turut duduk berhadap-hadapan dengan pak tua. Untungya, sigaret sudah saya tenteng dari awal untuk jadi pendukung saya.

Pak tua mulai mendongeng, pertama ia cerita soal budaya orang Jawa. Orang jawa yang menurutnya hidup dalam mitos, dan terutama sekali adalah raja-nya, alias si Sultan. Sultan baginya membangun kuasanya dengan mitos-mitos yang dibangun dari pendahulu-pendahulunya. Ini pun memberi efek yang begitu besar pada budaya rakyatnya, yang akhirnya terbiasa dengan mitos dan juga turut menghidupinya. Katanya, budaya panggung dalam seni pertunjukkan di Jawa (Yogyakarta), pada jaman dahulu belum ada. Semua peertunjukkan tari hingga wayang orang dilakukan di pelataran semata. Panggung mulai muncul ketika Sultan HB VII/VIII mulai jalan-jalan ke Eropa, melihat banyak budaya yang berbeda, dan beliau mengambil satu unsur baru yaitu konsep panggung, dan merubah banyak konsep pertunjukkan yang ada di Jawa. Akulturasi budaya ini juga ada pula yang pemaknaannya mulai berubah, menuju ke arah yang berbeda. Contohnya, tidak ada dalam sejarah kebudayaan Jawa asli yang menunjukkan bahwa tumpeng itu dipotong. Budaya tumpeng dalam tradisi 'slametan' menggambarkan hubungan makrokosmos, antara manusia dengan sang pencipta, dan ketika itu dipotong, adalah satu hal yang diluar logika awal, ketika bertujuan untuk memberi keselamatan. Pada satu kesempatan, Sultan yang berkuasa sekarang sempat memotong tumpeng itu dalam sebuah acara, yang menurut pak Tua ini adalah sesuatu yang lucu bukan main. Menurutnya, tradisi potong tumpeng itu pula meniru konsep potong kue yang ada di Barat. Seharusnya, untuk menyantap sebuah tumpeng, sepantasnya untuk dikerok sampai habis alih-alih dipotong.

Sejarah keraton juga mengungkapkan bahwa apa dalam setiap perang yang pernah terjadi, Sultan juga menggunakan 'tentara bayaran' atau mercenaries. Ini dikarenakan tentara Keraton dulu banyak yang berasal dari petani, sehingga ia mau tak mau harus menyewa orang lain untuk membantunya berperang. Bugisan dan Kulon Progo adalah salah satu tempat kediaman tentara bayaran ini, dimana di Bugisan terdapat orang Bugis, sementara di Kulon Progo banyak ditinggali oleh orang-orang Madura. Peperangan yang terjadi juga pada kenyataannya tak berbeda jauh dari peperangan kerajaan di belahan dunia lainnya, dimana tentara berikut seorang raja juga kejam ketika dalam posisi berperang. 

Dari peperangan, cerita pun beranjak ke masa sekarang, dimana dalam satu kesempatan, salah seorang koleganya hendak meneliti satu buku, yang menjadi sumber dari segala mitos yang dibentuk oleh Sultan. Pak Tua mengatakan bahwa buku itu sangat dikultuskan, dimana sesaji demi sesaji selalu mendampingi keberadaan buku itu. Kesakralan itu sendiri yang kemudian membuat kolega Pak Tua tidak diperbolehkan untuk menyentuh, apalagi membaca isi buku yang sebenarnya adalah sumber ilmu pengetahuan. Pak Tua bisa memahami bila ketika buku itu dibaca, dan isinya disebarluaskan, akan ada satu momen dimana masyarakat dalam naungan Keraton akan goyah kepercayaannya. Namun yang menjadi disayangkan adalah ketika ada satu orang asing dari Jepang yang datang dan diperbolehkan untuk meneliti isi buku tersebut. Entah rasis atau apa, tentunya ini sedikit mengecewakan. Akhirnya buku itu oleh salah seorang anak Sultan yang sekarang, mulai dibawa keluar untuk diarsipkan di dua tempat selain keraton, yaitu di Perpustakaan Nasional dan perpustakaan di Michigan. Sebuah langkah yang bagus menurut Pak Tua, dimana Keraton pada akhirnya mulai terbuka, dan sedikit mulai memahami perubahan jaman yang ada sekarang. Akan tetapi, perpustakaan Keraton yang menyimpan buku tersebut hanya dibuka selama dua jam dalam satu hari, sehingga tetap menyulitkan untuk meneliti isi buku tersebut, hingga akhirnya Perpustakaan Nasional menjadi pelarian dari Pak Tua untuk memuaskan dahaga sejarah mitos Keraton.