Utara menjadi tujuan saya hari ini. Saya mendapat limpahan tugas yang menarik, karena sampai sehari sebelumnya, saya masih belum tahu dimana lokasinya secara tepat berada. Setidaknya, saya bisa sedikit tamasya dan mengendurkan otot-otot otak yang bekerja cukup keras akhir-akhir ini. Asyiknya lagi, saya tidak sendirian dalam bepergian. Beberapa teman menyertai saya dengan penuh semangat dan rasa penasaran, apa yang akan kami temui kali ini.

Perjalanan kali ini serunya bukan main, karena banyak kejutan yang kami temui. Pertama, karena tidak ada diantara kami yang memiliki pengetahuan geografi daerah yang dilintasi, teknologi menjadi alternatif kami guna menentukan jalur. Peta digital membawa kami melewati jalanan sempit nan berliku tajam dengan kontur tanah yang menantang, membuat saya pun menahan napas ketika hendak membanting stir. Nyatanya benar, teknologi yang menjadi alternatif pula menyodorkan rute yang alternatif. Rute awal dan rute yang kami pilih bertemu pada satu titik. Tak apalah, namanya juga piknik, meski tak jua pemandangan satupun bisa dinikmati karena sekeliling kami yang gelap gulita. Kegelapan dapat berujung pada kesesatan, dan itulah yang sempat menimpa kami dan menjadi kejutan kedua. Ini pun dua kali kejadian. Kejutan terakhir, kami terpaksa berhenti di tengah jalan. Bukan karena kendaraan kami bermasalah. Sebuah truk pengangkut batu kali ngetem dengan posisi diagonal, menutupi delapan puluh persen badan jalan yang sempit dari bebatuan itu. Dengan santai mereka membuang satu demi satu batu ke pinggir yang berdekatan dengan jembatan. Nyatanya, kendaraan merekalah yang bermasalah. Semua langsung paham ketika truk itu akhirnya mulai bergerak, suara mesinnya menggerogos bagai sapi dilecut dalam karapan sapi. Tanjakan mendekati tujuh puluh derajat menyambut pengendara sepanjang seratus meter ke depan. Sabarlah kami menunggu jejak pendar warna merah raib dari pandangan, bila tidak tentulah segala macam skenario buruk kami lontarkan; mulai dari kunduran truk, kejatuhan material, dan lain sebagainya. Kesabaran membuahkan hasil. Kami pun sampai di lokasi.

Tugas segera dijalankan, semua digelar. Tak dinyana, saya bertemu Pak Tua disana. Intro yang diutarakannya segera menarik perhatian saya, terutama ketika Pak Tua ini tak segan-segan melakukan gestur yang tak wajar dilakukan oleh orang seumuran dia. Memang, Pak Tua yang satu ini benar-benar hiperaktif, baik dari segi gestur, maupun-yang kami baru sadari kemudian-oral. Serba tak terkontrol. Tugas selesai, Pak Tua pun menyambut kami, dan secara spontan, hiperaktifnya menular ke kami, dalam wujud tawa berkepanjangan tak habis-habisnya, layaknya rute yang kami tempuh demi mencapai tempat ini.

Pak Tua mulai membuka kisahnya. Ia menyatakan kekagumannya kepada masyarakat yang hidup di jaman kerajaan masa lampau, dimana budaya tulisan menadir dalam tubuh. Sama seperti Jepang, India, Thailand, Vietnam. Namun semenjak masa Sukarno hingga sekarang, justru Indonesia menjadi satu negara di Asia yang tidak budaya tulisannya mengalami kemunduran sangat jauh dan parah. Pak Tua yang mengalami peristiwa erupsi mengungkapkan kekecewaannya terhadap media massa, bahkan sekalipun media massa besar yang mendapat nilai sangat positif oleh masyarakat. Miskinnya budaya tulisan juga membuat orang pun tidak paham dengan sejarah yang bahkan baru berumur tiga puluh tahunan, yaitu PKI. Masih berkaitan dengan PKI, Pak Tua mencontohkan bagaimana masyarakat di sekitar gunung tak geram apapula mencibir ketika ada peluncuran buku eks-PKI di desa tersebut. Sebaliknya, ramah tamah khas desa yang ditawarkan.

Orang-orang yang mendiami lereng gunung pun diajak Pak Tua untuk berkesenian. "Kowe mending macul bar kuwi nganggur apa macul njur nari?", begitulah salah satu cara Pak Tua "mempermainkan" pikiran masyarakat. Pak Tua tidak lagi bicara dengan istilah-istilah yang justru membuat masyarakat pening lalu kabur menuju rutinitas sehari-harinya, Pak Tua "hanya" mendorong dengan pilihan-pilihan yang sederhana. Menurutnya, kesenian itu ya untuk bersenang-senang. Ia tak peduli lagi dengan urusan kebudayaan dengan segala jargonnya. "Nek ra gelem latihan, yo wis bubar wae!", tukas Pak Tua tanpa tedeng aling-aling. Namun realitanya, tetap saja orang-orang datang untuk ikut latihan. Segala macam pakem aturan pun dibabat, hingga seorang antropolog Inggris sampai berkomentar, "Kenapa itu dicampur-campur, kan nanti bisa hilang tradisinya yang asli..". Salah satu batas yang diterjang Pak Tua dan masyarakat lereng sana adalah ketika pentas, mereka bisa dengan fleksibel untuk memakai segala kostum bernuansa Islami ketika diundang pesantren, dan berganti ketika dikontak seminari, serta ikutan gundul bila diundang biksu. Pentas untuk partai dengan bayaran jutaan rupiah mereka sambangi, namun keesokan harinya bisa turun ikut pentas dalam rangka demonstrasi (apapun temanya!) menentang orang yang mereka sambangi "rumahnya" sebelumnya. Suatu saat di kala perayaan anaknya menikah, masyarakat pun ikut pentas. Namun karena runtutan acaranya sudah diatur semikian rupa sehingga tidak bisa diutak-atik, Pak Tua pun menyuruh mereka pentas setengah jam sebelum acara dimulai, dan masyarakat pun langsung setuju. Menurutnya, yang penting teman-temannya ini mendapat tempat dan kesempatan, tak peduli kapan dan dan dimanapun. Seni pun bukan lagi jadi hobi apalagi pekerjaan, tapi kebutuhan primer.

Pembicaraan terus berlanjut, dengan segala polah Pak Tua yang membuat kami ngakak tak habis-habis. Pak Tua yang satu ini tak pernah menyensor pilihan kata yang digunakan. Dalam satu kesempatan, seorang kawan menghitung dalam semenit ada tujuh kata 'bajingan' terlontar dari mulutnya. Ya, mulutnya memang jahanam memang, ia tak segan bercanda dengan mengejek rekan sejawatnya (yang juga hadir disitu pula!) lewat pengalaman mereka pentas. Rekannya pun justru ikut tertawa dan bahkan mengoreksi atau mengingatkan bila Pak Tua kelupaan satu hal saat mendongeng. Ia mengatakan, relasi sosial masyarakat di lereng gunung ini sangat kuat. Perselingkuhan yang ada disana pun sangat historis, beda dengan masyarakat perkotaan. Bila si A hendak mencerca, si B membalas dengan kerabat A yang juga selingkuh. Arus informasi yang cepat beredar membuat masyarakat menjadi sangat terbuka dan tak mudah tersinggung. Di lereng Merapi di Muntilan pun sama saja. seorang Katolik pun naik gunung hanya untuk diskusi sambil ejek-ejekan soal agama dengan puluhan Muslim, dan sama sekali tak menimbulkan masalah. Mereka tidak katak dalam tempurung soal agama. Cibiran justru dilayangkan ke orang kota, yang sudah terkotak-kotak dan daya sensitifitasnya sangatlah tinggi bukan main, bahkan mungkin baru tercium nafasnya saja, sudah mencak-mencak tak keruan.

Beda Merapi, beda Sumbing. Tahukah kamu kalau sebelum tahun sembilan puluhan, orang-orang yang tinggal di lereng Sumbing itu sangatlah kaya raya. Bawang putih adalah komoditas paling laris, yang serta merta merubah pola hidup orang-orang di Sumbing. Rumah mereka atap-nya dicor, dan permadani keramik menghias segala sudut lantai. Orang luar yang berkunjung pun seolah berjalan di atas balok es tanpa memakai alas kaki. Namun ketika Indonesia mengimpor bawang putih dari luar (Cina), mereka segera bangkrut, bahkan sekarang ada yang bekerja mengangkut batu atau pasir di Merapi. Menurut Pak Tua, masih bisa ditemui ibu-ibu yang sudah renta menghias lehernya dengan segala rupa kalung emas.

Pak Tua memang gila bukan main. Ia terus bermain-main dengan segala aturan pakem maupun norma yang mungkin mengekang secara informal dan sangat spontan. Di saat orang mungkin sibuk melihat ke atas mencari guna meraih Pak Tua yang sudah berada di atas awan, Pak Tua justru membuat orang kaget dengan menggelitik jemari kaki orang dengan tangannya yang sudah keriput.