Junta militer yang memerintah Uruguay sejak tahun 1973 terkenal sangat kejam terhadap setiap penentangnya. Ratusan ribu orang melarikan diri ke luar negeri. Para pembangkang politik dipenjarakan. Penyiksaan atas mereka adalah perintah wajib masa itu. Bahkan pertunjukkan musik klasik sekalipun bisa dianggap sebagai tindakan makar. Pertunjukkan musik klasik Piano Concerto for Left Hand (Konser Piano untuk Tangan Kiri) gubahan Ravel dibatalkan semata-mata karena judulnya berbau kiri yang dianggap berbahaya oleh pihak penguasa. Namun suatu unjuk-rasa sederhana di suatu pertandingan sepakbola menjadi sangat terkenal selama dua puluh tahun pemerintahan militer di negeri itu.

Ketika barisan pemusik mulai mengumandangkan lagu kebangsaan sebelum acara pertandingan dimulai, ribuan warga Uruguay yang hadir di stadion sama sekali tidak bersemangat ikut bernyanyi. Pada masa itu, tindakan keras-kepala sesederhana itu saja sudah cukup untuk dicap sebagai pemberontakan. Bagi para jenderal yang berkuasa masa itu, mereka sama sekali tak mengira akan terjadi sesuatu yang lebih buruk. Pada saat lagu kebangsaan tiba pada lirik "Tiranos temblad!" -- "Gemetarlah para tiran!" -- ribuan penonton itu tiba-tiba berdiri dan gemuruh bernyanyi bersama: "Tiranos temblad!" sambil mengibar-ngibarkan bendera-bendera yang mereka bawa. Demikian seterusnya, setiap lagu kebangsaan yang panjang itu tiba pada lirik tersebut, semua penonton berdiri dan bernyanyi bersama penuh gairah.

Pihak penguasa tentu saja tak bisa menangkap semua penonton yang ada di stadion. Mereka juga tidak bisa menghentikan lagu kebangsaan yang sedang berkumandang. Pihak junta pun bimbang oleh gagasan menghapuskan larik lirik "Tiranos temblad!" dalam lagu kebangsaan, karena itu jelas-jelas akan mempermalukan diri mereka sendiri. Apa pula alasan para jenderal itu ingin menghapuskan selarik lirik lagu kebangsaan yang sangat dicintai oleh rakyat sejak abad-19, kecuali jika para jenderal itu sendiri merasa bahwa mereka lah memang para tiran yang dihujat rakyat itu?

Demikianlah, maka para penguasa militer harus menelan pahit hujatan nasional itu sampai tahun 1985, yakni ketika mereka akhirnya kehilangan kekuatan dan tumbang. Demokrasi menang.

Sekarang, lagu kebangsaan Uruguay selalu dikumandangkan mengawali setiap pertandingan sepakbola di sana, dinyanyikan oleh para penonton dengan penuh semangat dan tanpa rasa takut lagi. Para pemimpin junta pun sudah dipenjarakan atas semua kejahatan yang mereka lakukan selama berkuasa. Para tiran itu kini benar-benar gemetaran.

Cerita ini diterjemahkan oleh Roem Topatimasang, dari artikel aslinya di truth-out.org.
---
Suasana Workshop.(foto: Afrizal Hosen)

Cerita ini hanyalah sepenggal dari banyak cerita yang bisa dibaca di laman aslinya. By the way, saya ingin berbagi sedikit soal ini. Seperti yang sudah saya sebut sebelumnya, cerita pendek tersebut diterjemahkan oleh Pak Roem, dan saya memang dapatkan dari beliau ketika saya mengikuti salah satu workshop singkat (tiga hari) soal "Pengorganisasian Masyarakat" di INSIST, dimana Pak Roem menjadi pemateri utama disini. Pak Roem mengajak para peserta, termasuk saya, untuk melihat kembali makna organisasi sebenarnya, bagaimana itu berjalan, tak lupa sejarah pergerakan organisasi di dunia. Salah satu poin yang menarik dalam "kuliah 10 sks" tersebut, adalah organisasi berperan dalam membantu masyarakat untuk memahami diri mereka berikut persoalannya, dan mencari solusinya dengan satu prinsip. Prinsip ini berasal dari satu kutipan seorang mahaguru legendaris, dan menurut pak Roem, kutipan tersebut merupakan ayat suci bagi setiap orang yang terlibat dalam organisasi:
"Datanglah ke tengah rakyat jelata,
Belajarlah dari apa yang mereka tahu,
Lakukanlah sesuatu dari apa yang mereka bisa,
Bangunlah sesuatu dari apa yang mereka punya,
Karena pemimpin yang berhasil adalah ketika rakyat
mengatakan kami sendiri yang menyelesaikan semua ini"
(Lao Tze, 60 SM)
 Seperti yang (mungkin) kalian duga, sepenggal cerita di atas adalah satu wujud konkrit prinsip tersebut, dan inilah yang ditekankan oleh Pak Roem. Berangkat dari tindakan kecil yang sederhana. Segala perkataan Pak Roem tersebut lantas menjadi cambuk buat saya, seorang mahasiswa yang sampai sekarang tak kunjung lulus. Selama ini saya mendapat beberapa kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan semacam ini, namun berkaca dari workshop tiga hari tersebut, banyak hal yang saya lakukan kurang tepat, dan bahkan kerap melupakan apa yang saya pelajari bertahun-tahun di kampus soal penelitian. Saya tertampar, sangat keras, dan ini membuat saya malu. Ketimbang cawe-cawe di kampus atau di manapun saya berada, saya nampaknya perlu lebih banyak untuk memperbaiki ketidaktepatan saya ketika bergerak bersama masyarakat.

Seolah belum puas, Pak Roem pun kembali "menendang" saya, jauh hingga terjerembab ke dalam got, ketika beliau memutarkan film "Seven Samurai" karya Akira Kurosawa. Bukan apa-apa, saya pernah menonton film ini sebelumnya, dan memang film tersebut luar biasa, namun sama sekali tak terbersit dalam pikiran bahwa film itu mencerminkan dengan sangat "vulgar" prinsip pengorganisasian. Saya, seorang yang hobi menonton dan kerap terlibat dalam dunia audio-visual, sungguh tak mampu berkata-kata lebih jauh lagi.
---
Aaah, beruntungnya saya bisa difasilitasi untuk bertemu dengan Pak Roem. Terima kasih, Suhu.

Minggu, 23 Maret 2014
Sajiono 15.