Seorang wanita duduk membungkuk menutup raut rupanya kusut. Kedua sikutnya bergetar lemah, hampir melorot dari pangkuan. Sesekali jemarinya bergerak menyeka wajahnya. Badannya nampak kecil dan menggigil di tengah senja jingga yang menenangkan. Ia bertahan pada bangku beranda rumahnya yang besar nan riuh akan hilir mudik penghuni lainnya.


Roda-roda kursi kantor berderit kala bergerak mendekat menjauhi meja besar. Pikirannya penuh. Ia mengalihkan perhatian pada kursi kantor beroda plastik. Ia mengalihkan perhatian pada jendela kantor penuh debu. Ia mengalihkan perhatian pada lalat di lantai. Ia mengalihkan perhatian pada tumpukan puntung rokok di asbak yang ia pakai. Ia mengalihkan perhatian pada tas selempang yang hampir jatuh dari kursi. Ia mengalihkan perhatian pada lampu yang menyala di sore hari itu. Ia mengalihkan perhatian pada pikirannya yang melayang-layang.

Ingatan Jep muncul seperti kejap lampu kilat, rangkaian peristiwa acap kali cenderung semacam foto alih-alih video VHS dengan saturasi yang rendah. Akhir-akhir ini memang banyak informasi melintas di otaknya, sampai-sampai Jep kewalahan dalam mencerna dan mengarsipkannya. Barangkali arsip memori Jep serupa dengan arsip nasional milik pemerintah, berantakan dan tampak usang. Walau demikian, kode yang terbesit dalam benak Jep terlampau spesifik hingga rekoleksi dokumen ingatannya cepat terlacak.

Dinding kamar tiga kali empat. Poster The Fab Four tersemat di salah satu dinding. Dua kabinet plastik berdiri merapat di sudut. Kasur kapuk yang lembab tergolek lemas dengan seprai bercorak AC Milan. Sampah makanan terserak di dekat kasur. Seseorang menyingkirkannya. Tiga pria duduk menatap layar. Dua di antaranya beradu mulut. Seorang lainnya berdiri di tengah pintu, membuang asap ke beranda kamar. Suasana serba tak nyaman, mengingat tenggat yang singkat. Dua orang lelah berdebat. Potongan-potongan gambar gerak mulai tertata dalam bingkai sekuens, nampak kesinambungannya satu sama lain. Semuanya berusaha fokus pada cerita di tengah distraksi secarik kertas tertambat di dinding di atas layar, bertuliskan 'pikir'.

Pikiran Jep terus berkelindan ke masa lalu. Mencoba untuk sangsi atas realita baru yang menghinggapinya, hingga ia jengah sendiri. Jep pun kembali menatap layar.

Memory is a wonderful thing if you don't have to deal with the past (Celine - Before Sunset)