Terdengarlah suara kendang, kenong, dan seperangkat gamelan lainnya bertalu-talu mengiringi para penari yang saling beradu. Nuansa liar merasuki arena, membuat para penonton kadang-kadang menyingkir untuk menghindari “amukan” para penari..
Itulah kesenian Jaran Thik, salah satu seni tradisi yang berasal dari daerah Ponorogo, yang pentas Oktober 2010 lalu di daerah Nitiprayan, Yogyakarta. Kesenian yang dipentaskan oleh Komunitas Ho’e ini mengangkat tema “Jaranan Kesurupan Sampah Plastik”. Wardrobe yang mereka gunakan adalah sampah-sampah plastik, yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari plastik yang diolah jadi tas kresek hingga plastik makanan. Para penonton, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kalangan penikmat seni hingga fotografer, menyesaki lokasi dan terpaku menyaksikan pertunjukkan yang “tidak biasa” tersebut. Pada akhir acara, para penonton pun tak segera pulang. Mereka bersama dengan para pementas membersihkan sampah yang berserakan di area pertunjukkan. Melihat dari jumlah dan perilaku penontonnya, pertunjukkan Jaran Thik yang satu ini bisa dibilang sukses.


Seni tari Jaran Thik dari Ponorogo, apabila melihat dari segi fisik dan juga cerita yang dibawakan, mirip dengan tari Jathilan, yang merupakan salah satu seni tradisi yang biasa dipentaskan di khalayak masyarakat rendahan1 . Dua kesenian ini, biasa dipentaskan dengan beranggotakan 5-10 penari yang membawa kuda kepang (kuda-kudaan dari anyaman bambu), yang secara tersirat menyimbolkan sosok prajurit. Mereka menggunakan ikat kepala, dan membawa sebilah pedang atau cambuk. Cerita yang kerap dipentaskan sendiri berkisar pada kisah Arya Penangsang dan kondisi prajurit di era Majapahit2 . Para prajurit ini, biasanya memainkan peran protagonis, yang melawan butha, raksasa yang kerap didaulat secara paksa sebagai simbol angkara murka, dan kadang bahkan ada pula yang memakai sosok ular naga sebagai raja murka. Mereka menari mengikuti irama, sampai pada satu titik, mereka kemudian menggelepar tak sadarkan diri. Seketika itu ada seorang “pawang” menghampiri dan “membangunkan” para penari yang rebah di atas tanah untuk kembali menari. Kondisi inilah yang selanjutnya disebut dengan trans, atau populernya, kesurupan. Mereka sebentar-sebentar menari dengan semangat, lalu berhenti dan meminta makanan yang tidak biasa, seperti rumput, dan bahkan tak tanggung-tanggung, sebuah lampu neon!

Fungsi tari yang dikemukakan Anthony Shay dalam Antropologi Tari3 terbagi menjadi enam kategori: (1) sebagai refleksi dan pengesahan organisasi sosial; (2) sebagai wadah ekspresi sekuler atau ritus religi; (3) merupakan hiburan sosial; (4) menjadi alat atau jalan keluar dan pengenduran psikologis; (5)sebagai refleksi nilai-nilai estetis; dan (6) sebagai sarana untuk mencari nafkah atau aktivitas ekonomi. Unsur kesurupan dari Jaran Thik maupun Jathilan melihat dari segi fungsinya, merupakan sebuah ritus (ritual), karena dalam kesurupan terdapat nuansa mistis. Victor Turner juga menegaskan, bahwa ritual menunjuk kepada tindakan yang disadari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis.

***

Perubahan jaman yang terjadi di mana hadirnya globalisasi membuat batasan-batasan ruang mulai kabur, dan industri-industri memunculkan budaya yang serba cepat sehingga yang ada kemudian adalah masyarakat yang serba konsumtif. Menurut Jazuli (2000:92), “Globalisasi sering diterjemahkan sebagai gambaran dunia yang menjadi lebih seragam dan terstandar melalui teknologi, komersialisasi, dan sinkronasi budaya yang dipengaruhi oleh Barat”. Dari situ, akses yang luas terhadap informasi dan tren yang mudah gonta-ganti juga kemudian menghadirkan apa yang disebut Piliang sebagai kebahagiaan semua4, karena masyarakat sendiri selain bertambah luas pengetahuannya, juga semakin selektif dalam menanggapi sesuatu. Dari sini proses pengendapan nilai-nilai estetis dan normatif dipandang sebagai sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Piliang (1999:103) lebih lanjut berargumen:

“Baudrillard, yang tampaknya berpandangan skeptis dan fatalis terhadap konsumerisme, melihat kekeuasaan dan daya kontrol ini sebagai bersifat semu belaka, disebabkan perubahan radikal yang terjadi pada relasi konsumsi di dalam masyarakat konsumer itu sendiri. Menurut Baudrillard, kita tidak lagi mengontrol obyek, akan tetapi dikontrol oleh obyek-obyek ini”.

Obyek disini adalah sebuah produk, entah produk kecantikan, makanan, dsb, yang “menghipnotis” manusia lewat berbagai media, dari televisi yang paling banyak dipakai industri, hingga ke ruang publik seperti rumah sakit. Ini tentu saja memberi dampak pada banyak hal, tak terkecuali seni tradisi, termasuk di dalamnya juga terdapat Jathilan. Seni tradisi ini juga mengalami pergeseran makna karena di samping teror iklan yang sedemikian rupa dan perubahan tren yang sangat cepat, juga akhirnya kemudian dari masyarakat sendiri tidak ada usaha sebagai konsumen untuk mencari makna yang terkandung di dalamnya. Globalisasi juga membuat budaya-budaya asing pun cepat masuk, dan karena fleksibilitasnya, mampu mendominasi dan kemudian secara tidak sengaja muncullah istilah budaya populer, dimana dalam kondisi tertentu, budaya yang bersifat kelokalan yang memiliki wajah-wajah yang konvensional dan jarang dirubah pakemnya, masuk dalam satu kategori budaya, yaitu budaya yang tradisional.

Hidup di Jaman Modern


 Kini, banyak seni tradisi yang ada mencoba bertahan hidup dengan mengangkat isu-isu yang sifatnya global, seperti isu lingkungan, kemanusiaan, hingga kemiskinan. Bagi van Peursen (2009:11), tradisi bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah; tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Isu-isu tersebut, sampai sekarang masih menjadi isu yang sensitif dan kerap dibicarakan meski kerap mengalami pasang surut, di samping juga diulang-diulang sebagaimana diungkap oleh media massa pada umumnya. Dari sini, seni tradisi pun sifatnya menjadi lebih kontemporer, karena adanya unsur-unsur baru yang masuk. Isu sendiri bisa dilekatkan pada tataran bentuk, atau bahkan isi (merombak makna). Nilai-nilai dikontekskan pada masa sekarang, dan dipaparkan secara sederhana, dimana packaging-nya sendiri juga harus menarik. Hal ini lagi-lagi terkait dengan masyarakat sebagai penonton, yang membutuhkan sesuatu yang baru atau tidak biasa.

Tari Jaran Thik dan Jathilan sebagai satu performance, memiliki perbedaan pada bentuknya bila disandingkan dengan seni tari tradisi lainnya, yaitu kesurupan. Ke-mistis-an dalam kedua tarian ini menjadi tanda akan budaya masyarakat Jawa yang cenderung berbau spiritual, dan dari sini, kesurupan kemudian menjadi identitas yang penting bagi dua seni tradisi tersebut. Dalam kaitannya dengan seni pertunjukkan, elemen mistis yang terkandung dalam kesurupan, merupakan hal yang tidak biasa. Di samping penonton yang sekarang pola pikirnya lebih pragmatis dan rasional, bentrok dengan nilai-nilai mistis yang cenderung irasional, yang terbentuk adalah rasa ketertarikan yang kuat. Kenyataan bahwa kerasukan tersebut sifatnya palsu atau direka-reka, namun opini umum yang terbentuk sebagai sesuatu yang berbau mistis tetap terjaga. Inilah nilai lebih pada kesenian Jathilan dan Jaran Thik, mereka masih bisa mempertahankan “kesakralan” yang ada, serta menyadarinya sebagai suatu potensi yang bisa menarik masyarakat untuk menonton.

Pentingnya Mencari Celah


Fenomena globalisasi dan segala tetek bengeknya memberi imbas pada banyak seni tradisi. Seni tradisi, banyak diantaranya mengalami shock culture atau gegar budaya. Lalu, dari sini kreativitas menjadi satu bekal yang penting. Para pelaku seni tradisi, yang sejatinya hanya merupakan pekerja seni5, perlu melangkah lebih jauh menjadi seorang seniman dari seni tradisi itu sendiri. Kaitannya dengan perubahan dalam seni tradisi, penulis mengambil argumen Royce (2007:199) mengenai tiga ciri akan seni tari yang sudah mengalami proses kreatif:
  • Penggabungan kembali dari elemen-elemen tradisi dalam caranya yang baru;
  • Pengenalan dari elemen-elemen baru;
  • Adanya perubahan dalam panjang frase tarinya secara mendasar.
Ciri yang dikemukakan Royce disini menurut pandangan penulis pribadi, pada poin (1) dan (2) bisa diimplementasikan pula pada seni tradisi pada umumnya, karena memiliki konteks yang lebih luas. Komunitas Ho’e disini setidaknya sudah menganut dua ciri yang diajukan Royce. Di satu sisi mereka bisa mempertahankan unsur ritual dalam tradisi, pada sisi lainnya, mereka mampu berinovasi di tengah jaman yang terus berubah. Mereka tetap mengusung ke-mistis-an kesenian mereka, namun juga sadar dengan jamannya, dengan mengangkat isu yang populer. Selain itu, penontonnya sendiri pun diajak untuk berpartisipasi aktif, sehingga tidak datang dan melihat, bertepuk tangan, lalu pulang dengan “tangan kosong”. Inovasi disini penting, supaya seni pertunjukkan tidak lagi sekadar “pertunjukkan” saja, karena bila ya, maka sesuai dengan pendapat Eco (2009:213) bahwa, “Apabila performansi budaya akan mengikuti cara ini, akan sangat sedikit kekayaan pemaknaan yang dapat kita raih”.

Catatan:



1Jathilan, menurut Gandung Sudjatmiko (dosen ISI Yogyakarta) bersumber dari rakyat jelata. Lihat “Jathilan Sebuah Tarian Magis” (2007).


2Ibid.


3Lih. Royce.2007:85


4Piliang menuturkan dalam bukunya Hiper-Realitas Kebudayaan, rasionalisasi dan komodifikasi kebudayaan menjadi salah satu sebab hapusnya kebahagiaan manusia yang sesungguhnya. Ini diperoleh dari hiburan dan seni ringan, untuk sekadar melepaskan diri sementara dari kepenatan sebagai pekerja.

5Penulis berpendapat, pelaku-pelaku seni tradisi hanya sekadar melanjutkan seni berdasarkan warisan dari para pendahulunya. Mereka hanya berlatih, memamerkan, dan mewariskannya lagi ke generasi yang selanjutnya tanpa melakukan inovasi (tentunya).


Referensi
Eco, Umberto. 2009. Tamasya Dalam Hiperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.

Van Peursen, C.A. 2009. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.

Royce, Anya Peterson. 2007. Antropologi Tari. Bandung: Sunan Ambu PRESS.

Jazuli, M. 2000. “Seni Pertunjukkan Global: Sebuah Pertarungan Ideologi Seniman” dalam Jurnal Seni Pertunjukkan Indonesia GLOBAL/LOKAL edisi X. Bandung: MSPI.

Referensi Internet
Anonim. 2007. “Jathilan Sebuah Tarian Magis” dalam www.beritaindonesia.co.id/budaya/ (diakses pada 22 Maret 2011).