Genre    : Documentary
Director : Cao GuimarĂ£es, Pablo Lobato
Length   : 72 minutes
Country : Brazil

Menonton “Accidente” seperti bermain puzzle yang fragmennya tak banyak, tetapi dengan sekujur lekukan acak di tiap sisi. Seolah mudah, tapi rumit. Secara umum, “Accidente” berisi rekaman dari 20 tempat di suatu daerah di Brazil dengan judul berbeda-beda, tanpa ada tema spesifik yang “membungkus” semua itu kecuali tadi, accidente – atau dalam bahasa Indonesianya tiba-tiba. Paduan gambarnya acak, dalam satu judul ia bisa hanya merekam orang yang menceburkan dirinya ke dalam air, sedangkan di judul lainnya ia mengambil panorama statis hutan dengan kabutnya. Angle yang diambil pun beragam, sehingga sepintas kita akan menganggap bahwa pembuat film ingin mengeksplorasi bahasa gambar dalam film. 

Alih-alih melihat eksplorasi sebagai efek yang lumrah dilakukan ketika risetnya kuat, saya justru ingin merujuk bentuk eksplorasi gambar dari ranah yang lain. Berbekal dari judul (yang saya tangkap sebagai konteks tema besar film), saya menterjemahkan accidente bukan menjadi ‘tiba-tiba’ tapi lebih ke suatu ‘ketidaksengajaan’. Apabila dibayangkan, kurang lebih seperti ini: pembuat film hendak melihat Brazil atau daerah-daerahnya, lalu melakukan perjalanan. Dalam satu titik di satu lokasi, ia mengeluarkan kameranya, lalu merekam apa yang tepat terjadi di depan matanya secara spontan.  Begitu seterusnya hingga 20 lokasi terpenuhi.  Kemudian, imajinya (atau lebih jauh lagi, intepretasinya) akan satu lokasi tersebut ditunjukkan melalui judul per lokasi. Sehingga, apabila kembali pada persoalan teknik pengambilan gambar, pembuat film memposisikan kamera sebagai matanya. Kemana fokus matanya mengamati, itulah yang ia rekam.

Berangkat dari kerangka tersebut, ketika saya melihat deretan gambar tersebut dengan sistem pengetahuan saya akan Brazil, saya melihat masyarakat Brazil adalah penganut Kristiani yang taat. Krisitiani, dalam beberapa ajarannya mengupayakan untuk melakukan kontemplasi, baik itu dalam wujud doa atau refleksi, dimana masyarakat Brazil melakukannya, dimana pada level budaya tertentu, perilaku reflektif atau termenung sendiri menjadi budaya, lepas dari Kristiani sebagai religi. Ketaatan itu tidak hanya menjadi konsumsi pribadi saja, tetapi juga dibawa ke ruang publik, dimana jalanan adalah salah satu ruang yang potensial untuk menunjukkannya. Ketika jalanan menjadi ruang yang potensial, dan lebih jauh lagi benar-benar menjadi ruang publik, penataannya menjadi sesuatu yang krusial. Kebersihan dan keindahan pun menjadi hal yang utama. Pada konteks yang lain, Brazil pula memiliki lanskap perbukitan, sehingga jalanan pun dibuat tidak menggunakan aspal, namun batu. Selain membantu kendaraan yang melintas dengan lekukan-lekukan yang terbentuk diantara batu, penggunaan batu menjadi jalan merupakan pemandangan yang biasa dalam lingkup pedesaan di Eropa. Alhasil, dalam konteks tertentu bermodal dari citra yang terpapar dalam film “Accidente”, pengaruh Kristiani dalam budaya masyarakat Kristiani masih kuat dan tetap bertahan.

Film “Accidente” pada akhirnya bergerak sebagai sebuah medium untuk menonton Brazil. Alih-alih mengungkung penonton dengan kerangka tertentu untuk menikmati dan memahami gambar, ia memberikan keleluasaan dan kebebasan sesungguhnya lewat wujud film yang “sederhana”. Sebuah film yang “sederhana”, namun membekas.