Halo. Namaku Johannes Jep. Aku biasa meminta orang untuk dipanggil dengan sebutan JJ, Jo, atau apapun asal bukan nama keduaku. Serius. Aku tak suka, karena terdengar aneh. Keanehan inipun nyatanya berpangkal pada kelabilan seorang bapak, setidaknya itu menurutku sih. Bapak mengatakan, nama ‘Jep’ diambil dari satu tokoh dalam sebuah film roman Itali, yang dalam film itu dikisahkan sebagai penulis novel yang sudah berumur dan menjalani gaya hidup flamboyan. Menurut Bapak, si tua Jep dalam film sedang mencari keindahan sejati untuk bahan novel selanjutnya. Oke, kuakui ada satu dua hal yang baik-baik. Tapi ini yang menarik, ternyata bapak sampai detik ini masih bingung dengan inti kisah si flamboyan Jep dalam film itu! Ah, sudahlah. Itu cerita usang. Bagaimanapun asal-muasalnya, toh itu tak lebih penting dari siapa yang memberi nyawa pada nama itu. Ah sudahlah, JJ, Jo, Jep, sama saja.

---
Ada kalanya, bambu di halaman belakang tumbuh begitu cepat. Tak sampai dua minggu kucukur rantingnya, kini sudah tumbuh batang baru. Batangnya yang nampak seperti kelabang hijau menari-nari diterpa angin, berjoget tak tahu malu. Bah. Tampaknya batang satu itu lolos dari penglihatan. Maklum, bambu Jepang. Pandai nian. Ingin rasanya kugergaji seketika. Tetapi itu bukan hal mudah. Aku harus memotongnya dari atas, karena tanamanku yang satu ini daunnya masih jarang. Untungnya, aku cukup jeli mengaitkan dan melilitkan ranting yang ada ke dahan yang lebih besar, sehingga tetap terlihat rapi dari depan, kiri-kanan, bawah. Kecuali atas. Atas. Fak.

Untuk ke atas, tangga lipat pun sampai dibentangkan. Terngiang deritan aluminium yang terinjak bikinku tersenyum kecut. Kadang, atau bisa jadi acapkali, aku kerap dibuat heran dengan diriku sendiri. Demi kerapian sebuah tanaman bambu seperti yang ada di rumah belakang toko buku, aku sampai tak peduli dengan tulangku. Nonsense, ya, tapi itu pernah terjadi. Setidaknya padaku. Maka, naiklah ku ke atas. Menggapai batang bambu yang bengal dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku mulai mengambil ancang-ancang. Beberapa detik berlalu. Tak sulit. Berhubung masih hijau, maka tak alot. Tak sampai dua menit, kunikmati lagi sebuah kesempurnaan versiku. Versi Jep.

---
“Siapa yang mengira? Seorang dengan nama se-keren ‘Jep’, memilih bambu untuk bersenang-senang? Jangan-jangan gegara nama kau yang diambil dari orang tua itu, kau jadi ikut-ikutan tua, Jep?”. Vito. Kawan satu ini memang kadang pikirannya terlalu jauh dalam menilai orang. “Sepengetahuanku, aku punya kebebasan untuk milih itu”, balasku. Vito terdecak, menggeleng-geleng kepalanya. “To, asal kau tahu saja, ada kenikmatan tersendiri ketika kau merawat tanaman. Lagi-lagi, asal kau tahu saja, aku juga tak jarang bertanya-tanya ketika menemukan tanaman atau bunga yang menarik. Dan, dan asal kau tahu saja To, kau belum pernah melihat tamanku kan”, imbuhku. Komentar Vito seolah menihilkan jerih payahku membangun taman belakang. Gaung pun menyahut, “Hahaha! Menarik! Besok aku luang. Hohoho, Jep dan bambu! Kombinasi yang perlu diuji”.

Kawan. Seringkali tahu. Seperti Vito. Setahuku, cerita asal namaku sudah tahunan lewatnya. Sangat mungkin ia mengingat bagian yang bisa ia gunakan sewaktu-waktu. Brengsek. Semoga saja benar bambu yang dia bahas lusa lalu. Aih, apa pula maksudnya dia bawa cerita soak itu di topik bambu itu? Sengajakah? Bisa jadi spontan, apalagi tipikal Vito. Aku pun memutar ulang ingatan dua malam lalu di warung kopi. Obrolan kesibukan, masuk ke pertandingan piala dunia terakhir, aku melewatkan partai Spanyol lawan Belanda. Babi! Bisa-bisanya ketiduran. Oh iya, lalu Vito tanya kenapa. Aku jawab ngurus bambu. Oke, ini dia. Hmmmm....jangan-jangan gara-gara nama...bertanya-tanya...kombinasi perlu diuji...hmmmmm... Bambu. Merawat tanaman, bisa jadi memang kegiatan pensiunan atau orang tua. Aku melakukannya, tapi tak lantas dapat cap serupa seharusnya. Terlalu sempit. Akan tetapi, kenapa orang-orang tua itu tak sedikit yang sempat merawat tanaman di kala senggang? Menyiram di sore hari, memotong dahan yang sudah kecoklatan, atau sekadar memindah tatanan pot. Oh ya, hari ini belum disiram. Jingga-nya langit sudah pas. Selang diulur. Keran terbuka. Jempol dan telunjuk tangan menggapit ujung lubang, daun-daun mulai basah. Tak sampai satu menit, aku menonton bambu ini. Kiri-kanan, atas-bawah, lengkap. Tingginya yang tiga meter, menutup cahaya matahari. Pendaran sinar terpancar dari air yang menetes jatuh dihempas angin sore. Haha, ini kenikmatan versiku. Versi Jep.



22 Juni 2014.