Satu terik di musim hujan, desiran angin bergerak malas. Ia berputar-putar dalam pusaran kecil, yang hampir saja gerak-geriknya tak tertangkap mata. Pada satu sudut jalan, berdiri tegap dalam sosoknya yang bulat sempurna, pohon Kiara Payung, atau Fellicium decipiens. Ranting dedaunan yang tercecer di bawahnya, beberapa kali terbawa pusaran angin sebelum kembali jatuh terdiam. Warna daun yang sebelumnya jelas coklat pupus, kini semakin gelap. Sinar matahari tak mampu menembus badan seorang pemuda, yang sedari tadi menyimak. Johannes Jep.


Jep duduk seorang diri. Bahkan dalam radius 500 meter, tak satupun manusia selainnya yang tampak. Ia sudah berada disitu sejak 40 menit yang lalu. Suasana kala itu memang berpadu sangat koheren, membangun suasana sendu, nampak ingin mengimbangi apa yang sedang dirasakan oleh Jep sekaligus menemaninya. Namun sendu bukan cerminan Jep hari itu. Ia benar-benar hanya menyimak gerak daun tadi. Alam yang semula selalu memberi perhatian pada manusia dengan kedetilan luar biasa, kini dibalas oleh Jep lewat gestur laiknya seseorang mendengar keluhan sahabatnya. Sederhana, tapi mendalam. Alam pun tak nyaman dibuatnya. Sepoi angin terasa semakin tak konsisten, kadang lambat, kadang kencang, dengan ritme yang kacau pula. Daun-daun memanfaatkan angin untuk bergegas menuju bayangan Jep dan pohon yang memayunginya. Sayangnya, kali ini alam salah tangkap. Mata Jep. Mata Jep luput dari firasat alam. Ia tak tahu, bahwa tatapan Jep, kosong.

---

Tiga jam sudah lewat. Bahkan matahari menyerah. Ia memilih turun dari panggung. Langkah ini diikuti oleh daun-daun mati, yang kini sudah berada di kolong kursi, menumpuk dan tertidur pulas. Lain halnya dengan angin. Ia tak puas. Nafasnya mulai menggerogos. Ia semakin jengah, karena meski Jep sudah mengalihkan pandangannya ke pencari keong yang notabene jauh lebih hidup, mata Jep tetap tak bergeming. Ingin rasanya angin mengeluarkan kedigdayaannya, untuk memerangi kekosongan Jep. Akan tetapi, melawan kodrat hanyalah membuat petaka, dan angin urung melakukannya. Karena ia tahu, ia sudah menemani Jep sejak detik pertama disitu. Menyadarkan Jep justru bisa mengusirnya dan menunda kekosongan Jep. "Oh Johannes Jep, mengapa kau begitu tahan pada kosong?", batin sang bayu berulang-ulang. Umurnya yang abadi membuatnya lupa akan apa yang pernah ia bisikkan pada seorang Siddhartha di hutan Gaya.