Ya, setiap orang pasti pernah melewati masa-masa ini, atau setidaknya pernah mencecap situasi ini. Situasi dimana kelesuan melanda diiringi kebingungan untuk bergerak, melakukan sesuatu. Bila diumpamakan pada masa 45 dulu, daya juang untuk hidup seolah sirna. Apa yang dilakukan tak jelas aral dan tujuan. Kesia-siaan. Kebosanan. Tentu lain soal bila ini adalah melakukan sesuatu yang repetitif, menjadi rutinitas yang pada satu periode, mencapai titik kejenuhan. Ini lebih parah, sehingga dampaknya tak terperi. Seolah jiwa-raga terhisap sebuah wormhole. Hilang sekejap dalam kekosongan kekal.


Mungkin, mungkin apa yang diandaikan diatas terasa hiperbolis. Tapi ini sangat kontras. Dunia Jep yang selama ini dirajutnya, selalu memiliki pijakan yang tegas. Setidaknya bila ia tak kuasa menapakkan kedua kakinya semau egonya berkehendak, paling tidak ia bisa berjinjit, meskipun dengan kelima jari kaki. Namun saat ini, alih-alih kesepuluh jarinya menekuk sembilan puluh derajat, semua telapak jemari kakinya dalam posisi layu. Melayang. Jep dengan otak brilian kreasi ayah-ibunya itu bahkan seolah macet. Ia kesulitan, untuk melihat dirinya sendiri, untuk mencari tahu apa yang salah dari dirinya. Rupa reka argumen yang biasa ia pakai ketika bertukar pengalaman dengan kawannya selalu tak cocok sekarang. Pembenaran demi pembenaran yang tercecer di benaknya selalu mental. “Bukan itu”, batinnya. Saat itu, hanya satu kesimpulan yang berhasil ia capai, setelah hampir menyerah. Ia harus melihat dirinya, melalui bantuan orang lain.

Siapa? Laiknya kisah rendahan dalam sebuah film yang bahkan tak laku di kaki lima, persoalan segera bercabang. Raut Jep masam, menurutnya apa yang dialami begitu remeh. Agaknya, menyampaikan itu hanya membuang waktu lawan bicaranya yang sangat berharga. Atau seperti apa yang tertulis di awal, persoalan ini begitu umum, sehingga membaginya hanya membuat lawan bicara Jep tergeleng-geleng. Bisa pula hanya mematung terkesima, tak percaya, Jep baru saja membuyarkan penilaian orang terhadap dirinya. Terlepas dari asumsi Jep yang bisa jadi cuma isapan jempol belaka, ia bingung mencari siapa orang yang tepat. Kawan-kawannya selama ini berada di jarak yang sulit untuk ditemui. Bercerita secara tak langsung hanya membuat Jep tak nyaman, karena tak bisa melihat reaksi spontan dari lawannya. Sementara mereka yang berada di dekatnya, seolah semakin tak terjangkau. Asumsi kelewat jauh menumpuk. Jep sempat mencoba, terpikir satu nama. Disempatkanlah ia bertanya, namun kala itu si pemilik nama belum bisa ditemuinya. Berselang satu hari, ia memberi jawaban pada Jep, siap membuka pintu. Tapi Jep hanya terdiam, menghabiskan pilinan tembakau tanpa merasakan kenikmatan tiap hisapannya. Jempolnya mengetik, “besok saja”. Jep takut, tak siap. Ooo Johannes Jep, dirimu mengerikan.

Jep beruntung. Tiga hari ia terkatung-katung menggelandang, seseorang memberi sinyal. Seolah tak ada habisnya keajaiban yang dianugerahkan pada Jep. Seperti seorang murtad kelas teri, ia sontak menjilat Tuannya tanpa tahu malu. Ini karena orang itu menurut Jep adalah beberapa dari mereka yang tepat menjadi lawannya. Sebagaimana mereka, satu orang ini termasuk manusia-manusia yang Jep tak bisa deskripsikan. Kata hanyalah benang kusut yang mengurainya pun membutuhkan energi lebih. Satu hal yang saat itu, bahkan perlu dikelola dengan sangat cermat.


Waktu bergulir, begitu pula bagi Jep. Perbincangan semalam, cukup menambal. Sekarang ada panduan yang bisa dicoba, meski hanya satu, namun bisa dicoba. Lawan bicaranya pun bersedia menemaninya. Meski Jep cukup tahu, sadar diri untuk tidak seoptimis lawannya. Namun saat ini, Jep ragu. Semalam, bertanyalah Jep, agar ia tak terjebak pada keabu-abuan, seperti yang biasa ia kunyah. Kala itu, Jep pun optimis.

Baiklah, ini hari untuk mengikuti panduan. Pukul dua belas Jep terbangun, lalu menunggu waktu. Rutinitas pagi di siang hari, dilakukan. Kopi instan, dan sigaret. Hah, peduli setan dengan resiko. Nampak, nikmat. Tak lama berselang, mitranya untuk menguji nanti malam, memberi kabar. Ia berujar, ia salah melihat jadwal. Ia meminta respon. Johannes Jep baru saja jatuh ke lubang yang sama.

5 Juli, 15:48.