Ia melangkah pelan, menghampiri meja yang terletak di tengah ruangan. Jemarinya meraih kursi, menariknya serong ke belakang dengan santai. Ancang-ancang diambil, lalu duduk. Ia tersenyum lengkap dengan lesung pipi yang malu-malu, ketika salah seorang menghampirinya. Si pelayan membalas keramahan tamu satu ini dengan raut mekanis sembari menyodorkan lembaran karton tebal berisi menu makanan dan minuman. Si gadis menatap rangkaian menu, menelisiknya satu persatu. Lagaknya penuh kehati-hatian, seolah buku menu itu adalah sebuah mock-up majalah fesyen yang dihadirkan di depan pemimpin redaksi.

Si pelayan tetap berdiri, menunggu kaku. Meski begitu, matanya tak kalah belingsatan ketimbang si gadis, menyoroti setiap mili penampilan tamu yang hadir di hadapannya. Ia memulai aksinya selayaknya setiap orang di berbagai belahan dunia manapun, dari bawah ke atas. Ia melihat sepatu si gadis. Kulit doff hitam dengan pola yang lumrah ditemui. Tak memakai kaus kaki, kulit putih si gadis tampak kontras. Kakinya sendiri kerap menggeliat, bermain-main dengan sepatunya. Si pelayan menangkap kesederhanaan dan keriangan dari paduan gerak-gerik kaki dan sepatu si gadis. Ia melanjutkan petualangannya. Pakaian yang dikenakan, tak ada yang menarik. Si pelayan, dengan pengalaman satu tahun sebelas hari bekerja disitu, terbiasa dengan pakaian aneka rupa. Mulai dari yang menyilaukan mata, hingga padu-padan yang norak tak keruan. Menurutnya, seorang wanita sudah sulit untuk ditilik sifatnya dari pakaiannya. Terlalu manipulatif bagi si pelayan agaknya. 

Pada satu titik, tatapan si pelayan terhenti. Tak jelas, ia melangkah perlahan mencari sudut yang lebih mantap. Untung, si gadis terlalu tenggelam dengan apa yang hadir di atas tangannya. Mata si pelayan mulai memicing, dengan jeli menangkap satu yang tersembunyi di pakaian si gadis. Ikat pinggang dari kulit berwarna merah marun terpasang sedikit longgar. Posisi si pelayan yang kini berada sedikit ke samping membuatnya mampu melihat adanya dua lapisan pada sabuk. Memang, postur si gadis terbilang ramping, namun dua lapis itu memunculkan pertanyaan bagi si pelayan. Namun ia ragu untuk mengira-ngira, apalagi bertanya kepada si gadis. Bisa-bisa ia dipecat karena mengindahkan norma tak tertulis antara tamu dengan pelayan. Melebihi batas itu tak baik. Sekalipun kadang ada baiknya, namun itu tak tepat. Terlalu berisiko bagi si pelayan.

Si gadis tiba-tiba bersuara, lalu menunjuk satu menu di karton tebal berwarna krem, tanpa membuat kontak mata dengan si pelayan. Si pelayan tanpa sadar segera mengeluarkan buku kecil bersampul kulit coklat lalu mulai menulis. Si gadis lalu kembali terdiam, membalik halaman. Jarak pandang mata dengan menu pun mulai berkurang. Si pelayan, sementara menunggu.


Sesekali telunjuk si gadis menepuk bibirnya dua tiga kali, sebelum menutup buku menu, lalu membukanya kembali dari halaman pertama. Sadar akan kode tersebut, si pelayan segera tak melewatkan kesempatan. Sedari tadi ia sudah terpikat pada kilauan di pergelangan tangan kanan si gadis. Kilauan benda ini begitu aneh, begitu absurd. Ia tidak melihat adanya kesatuan kilauan itu pada semua yang tersemat di seluruh tubuh si gadis. Ah, barangkali...barangkali cermin di rumah si gadis tak mampu merefleksikan seluruh tubuhnya. Namun mata si pelayan benar-benar terheran-heran, alis matanya naik turun.

Suara buku tertutup. Si gadis menolehkan pandangan, matanya bertemu mata si pelayan.

---

Si gadis duduk sendiri, menunggu.
Si pelayan, berdiri, menanti.