Jep punya profesi baru, atau kesibukan baru akhir-akhir ini. Menyiram. Seolah tidak ada pekerjaan atau kegiatan lain yang lebih penting dan genting untuk dilakukan. Buat sebagian atau mungkin kebanyakan orang, menyiram itu mungkin kegiatan yang super selo, malah barangkali hanya dilakukan oleh orang tua atau pensiunan. Tapi untuk Jep, menyiram itu aktivitas yang menyenangkan, penting, dan bahkan merupakan bentuk tanggung jawab dirinya sebagai manusia yang hidup. Eh?

"Hobi" baru ini dilakukan sudah cukup lama sebenarnya. Bermula dari tiga hal: rumah, bambu, dan uang. Ia menempati rumah kecil yang kebetulan punya halaman depan dan belakang yang cukup luas. Namun kala itu, halamannya sudah beralaskan batako. Benaknya segera merespon sekelumit visual-visual yang terekam di otaknya, bekal masa lalu. Jep, orang yang gemar berjalan-jalan mengitari rumah-rumah seraya mencari rute pulang baru. Itulah kenapa ia begitu menikmati sebuah perjalanan. Bahkan kerap ia hanya berkeliling tanpa arah, hanya untuk mencari rumah, menatapnya sekilas, menyimpannya dalam memori. Ia memang tak paham perihal arsitektur, tata letak, dan semacamnya. Yang ia tahu, setiap rumah itu adalah karya seni yang rumit. Oleh karenanya itu pantas dinikmati. Pula tanpa biaya. Uniknya, Jep tidak pernah berhenti ketika menemukan rumah yang menarik. Ia hanya melambat dan menonton sekelebat. Berlama-lama di satu rumah hanya membuat luntur keindahan sebuah rumah, karena pasti dari situ pikiran bergerak tak terkendali. Memorinya menyimpan satu ingatan yang segera diunggah menuju otak, diprosesnya, lalu terbayanglah bambu. Bambu Jepang. Ingatan Jep yang samar-samar mengetahui kala itu ia memiliki sisa tabungan yang belum habis. Tanpa pikir panjang pun dulu ia segera membongkar batako di depan dan di belakang rumah, membeli bambu dan pupuk. Sejak saat itulah, ia mulai menyiram tanaman, pagi dan atau sore hari.

Menyiram menjadi satu hal yang rutin Jep lakukan. Kadang ia menyiram sambil menyematkan earphone dan menyetel musik favorit lalu bernyanyi sekenanya. Terkadang Jep melakukannya tanpa musik, dan tanpa memikirkan apapun, ia hanya menyiram layaknya robot. Aktivitas menyiram kerap kali dilakukan secara motorik. Laiknya para ibu-ibu atau bapak-bapak pensiunan tanpa kerjaan, bambu jepang tak sekedar jadi objeknya, tapi seluruh permukaan tanah di sekitarnya. Pernah pula satu peristiwa, Jep menggerutu begitu air mengalir melalui selang dengan begitu ogah-ogahan. Loyo, tanpa daya seperti Jep. Apa boleh buat, kelesuan selang dalam menyemburkan air dikarenakan sumber airnya bukan dari sumur, tapi dari berlangganan air. Alhasil, tak jarang Jep melakukannya di siang hari, saat air dalam kondisi prima. Ketika selesai, ia hanya menghela panjang, mengeruk bau tanah dan air yang begitu segar melegakan.


Dua tiga bulan berlalu, entah kenapa, Jep tak hanya menyiram tanaman rumahnya. Ia mulai keranjingan menyiram di tempat lain yang memungkinkan. Ia pun berusaha konsisten untuk menyiram di tempat yang sama. Satu, dua, tiga tempat. Rutinitas tanpa pikiran dan seolah tanpa beban ini begitu memabukkan bagi Jep. Ia seolah tak peduli dengan waktu begitu menyiram, apalagi orang lain. Tetapi tak dinyana, aktivitas motorik ini merangsang impuls-impuls di otaknya untuk bekerja. Jep yang begitu terfokus, tak sadar mulai menghayati dan entah dari mana ia mendengar bahwa selama ini ia begitu tidak adil. Tak adil terhadap tanah yang selama ini ia pijak sepanjang hidupnya. Tanah, yang selalu ia injak-injak, justru diracuni terus menerus dengan entengnya dan tanpa beban. Air, yang merupakan kawan dari tanah, diambil sekehendak hati. Dikucilkan semaksimal mungkin, lalu dikembalikan ke tanah setelah "dipakai" dengan puas hati oleh Jep dalam keadaan tak lagi perawan. Beban menyaruk benak serta pundak. Jep menyiram tanaman. Begitu selesai, kesegaran menyeruak dari bau tanah. Tanah yang berucap, "terima kasih".