Sebuah rumah bertengger di pinggir sungai dan sawah. Sepi. Hanya suara alam malam itu yang saling bertautan. Namun di balik dinding-dinding rumah, kepulan asap rokok mengepul. Remah-remah putung tercecer di sekitar asbak yang tergeletak di punggung meja yang berantakan. Ditambah kabel-kabel berbelit-belit menunjukkan keruwetan yang berujung pada sebuah laptop kotak hitam, dimana speakernya mendendangkan lagu rock 'n' roll milik The Strokes dengan pemutar musiknya disetel mode: repeat-on. Samar-samar, pendaran cahaya lampu merefleksi pada layar laptop, membentuk bayangan samar-samar akan orang yang menghadap ke arah laptop. Arah panah jam menunjukkan pukul 00.30 WIB.

Beat dan rhythm dengan tempo yang kencang membuat si pemilik sosok bayangan layar laptop menghentakkan kaki-kakinya, mencoba mengiringi meski tak sinkron. Si pemilik sosok, sama sekali tak bersuara, karena ia tahu akan sulit melafalkan bait-bait lirik yang digumamkan Julian Casablancas. Meniru intonasinya saja susah, apa lagi bila harus mencari metode lain dalam menyanyikan lagu yang terputar kala itu. Bisa-bisa malu, meski saat itu, tak ada manusia yang sadarkan diri dalam radius lima meter di sekelilingnya. 

Si pemilik bayangan samar itu sibuk menetapkan pilihan-pilihan kata untuk diketik. Sesekali, ia berhenti mengikuti alunan musik dan hanya terdiam menyender pada kursi beroda yang berbahan empuk namun dari kulit imitasi pecah-pecah. Sesekali ia tertunduk, memejamkan matanya tak sengaja, dan tidur terkantuk-kantuk, sebelum akhirnya bangun lagi dan merasakan kulitnya merinding diterpa udara malam. Untuk mengurangi efek alamiah itu, si pemilik bayangan mengambil sebatang sigaret dari bungkusnya yang setengah terbuka. Ia meraba-raba meja mencari korek api, sementara matanya terfokus pada deretan rapi teks Calibri yang terpampang di layar temaram laptop. 

Otak-otak Jep, bekerja dan berakselerasi tanpa henti. Pasokan kopi instan lengganan melumeri otot-otot otak dan mata, meski efeknya hanya bertahan 5 menit di awal. Karbon-karbon tak jua menyokong kinerja tubuh untuk bisa bertahan. Tubuh Jep begitu rapuh, andai saja ada Eurema blanda bertengger di bahunya, tak ayal tubuh Jep terkulai menggeletak di lantai. Andai saja, karena itu yang diinginkan serebral korteks Jep, yang sedang rodi malam itu.

Proposal dan laporan kerja masih belum selesai. Laporan kerja masih harus dibaca dan direvisi. Otak Jep makin kalut ketika foto yang dibutuhkan untuk laporan tidak ada, belum berpindah. Fuck! Oke, tinggalkan, biarkan menyusul, Jep memutuskan. Segeralah ia berpindah ke proposal. Sedari siang ia sudah kesana-kemari mencari inspirasi, mencari strategi, menilik kemungkinan-kemungkinan, menghitung waktu, demi selesainya barang jalang satu ini. Ia sempat buntu, karena ia harus ragu, agar ia bisa menilai dan membuatnya menjadi matang. Di tengah-tengah menulis proposal, telepon genggamnya berkelap-kelip. Email masuk, langsung dua. Selesai membaca, Jep mulai sedikit panik. Segera ia mengecek email. Mata dan mulut langsung belingsatan tak terkendali begitu loading halaman selesai dan menampilkan puluhan email belum terbuka, tercatat paling tua awal bulan. Fuck!! Jep lantas lupa dengan proposal, dan membuat email baru. Lalu grup baru. Lalu ia kembali berkelindan dengan draf proposalnya. Waktu menunjukkan pukul 04.00 WIB, pukul 05.38 WIB, pukul 06.22 WIB, dan Jep masih tetap berkutat di tempat. Paragraf terakhir, sedikit lagi. Telepon genggamnya kembali berdering. Kali ini tagihan proposal, bukan yang pertama, tapi yang kedua kalinya. Fuck!!!

Jep berusaha menstabilkan diri. Otaknya sudah tiga kali menggerogos seperti bison dikejar singa. Pukul 07.45 WIB, Jep membuka laman emailnya dengan susah payah. Ia menulis email. Jemarinya tak beraturan menyentuh tuts, sampai harus beberapa kali mundur ke-belakang. Terlalu semangat, kelebihan tenaga. Maklum, jumlah kata yang diproduksi tak lebih dari 500 kata, meski implikasinya bisa 500 macam. Tulisan di badan email selesai, Jep menekan tombol Send.


29 September 2014, 09.16 WIB