Air mengucur dari pangkal keran. Api biru melingkar statis. Gelas piring kaca beradu dengan panci aluminium, nyaring suara berpantul ria dalam ruang tiga kali empat. Riak gemericik air pun tak mau kalah. Tak lama berselang, sambutan air mendidih dari atas kompor menambah romansa kesegaran pagi. Tangan-tangan kasar dengan cekatan mematikan sumbu, lalu dengan terampil mengoles tumpukan pecah belah dengan hati-hati menggunakan sabun cair. Guyuran air keran membuat gelas piring semakin lama semakin kesat, tanda sudah bersih. Atau sekiranya demikian, menurut tayangan-tayangan marketing nan maut di layar kaca.

Konsentrasi Jep beralih, menuju kepulan asap hangat dari atas kompor. Ia segera mengambil gelas kering dari balik almari, menuang gula dan mulai menyeduh teh. Tak terasa, Jep sudah duduk santai di ruang tamu dengan dua jendela besar terbuka yang menyambut angin pagi, lengkap ditemani teh hangat dan sebatang sigaret. Ritual pagi yang sempurna. Tiada kopi, teh pun instan. Asal praktis, tak jadi soal bagi Jep. Sebab ia tak ingin kehilangan momen pagi yang sulit ditemuinya tiga minggu terakhir.

Menikmati teh, pandangan Jep terarah ke balik kaca jendela, dimana bambu-bambu jepangnya sudah tumbuh lebat, tak teratur. Terlalu liar, sampai-sampai lampu luar rumahnya habis diterjang dedaunan bambu, meninggalkan remah kaca tajam di atas lantai beranda. Seketika Jep teringat dengan halaman belakangnya, yang tak jua lebih asri. Meski sudah seharian ia memotong, merapikan, dan membakar daun-daun bambu halaman belakang, namun itu belum semua. Masih ada batang bambu lebat yang tak bisa ia rapikan karena tidak tumbuh ke atas. Cenderung condong memisahkan diri, sehingga sulit dijangkau dan diatur. Ini diperparah dengan tunas-tunas bambu yang entah dari mana tumbuh menjulang empat meter tingginya. "Bangsat, melelahkan. Gatal pula", pikir Jep membayangkan perilakunya sendiri dua tiga jam kedepan.

---
Sore tiba, datang pula agenda Jep. Ia harus beranjak dari tempatnya duduk sedari tadi. Tak banyak cakap, jaket, kunci dan helm disambarnya segera, dan melangkahkan kakinya menuju sepeda motor. Selagi reda, saat mencuri kesempatan untuk keluar menghampiri Jep. Sepuluh menit. Tidak, barangkali hanya enam menit, bila dipotong dengan durasi lampu merah perempatan. Sambutan hangat pun diterima Jep dari kedua kawannya. Menu dipesan, Jep menunjuk lagi teh. Kali ini rasa mint. Obrolan digelar, macam-macam topik diulas, dari yang remeh soal sepatu Vans "The Beatles series", serial tugas akhir yang membosankan, hingga proyeksi masa depan yang menjanjikan. Setidaknya buat Jep dan kawannya. Imaji-imaji liar berkelebat, mencoba mencari benang merah antara benak Jep dan kawannya, sayang tak pula titik temu ditemukan. "Biar saja mengambang, kita lihat nanti", timpal Jep dengan santainya, penuh harap.

Guliran tema terus berkembang, meluas. Tiga jam terasa padat dan menantang. Jep menemukan lawan bicara yang setimpal. Saling mengumpan, Jep sadar ia menjerat lebih matang, tapi tetap elegan. Kata demi kata diseleksi ketat, mencoba untuk tetap seimbang dengan kawannya. Ia tak ingin terlihat dominan. Dominasi hanya membuatnya terlena, kadang ceroboh. Sering berakibat fatal. Ini bukan mengada-ada, Jep berkaca dari masa silam. Ruang itu harus dibagi, karena itulah ruang itu ada.

Akita nampak menikmati obrolan dengan Jep. Arena demi arena dijelajahi, demi membingkai ruang ide terbungkus rapi dan siap ditampilkan ke khalayak. Angin berpihak untuk mereka, setidaknya untuk saat ini. Akita dan Jep beruntung, mereka terbuka satu sama lain. Atau paling tidak mereka berpikir demikian. Tak semua benang merah harus segera ditemukan atau dibuat memang. Baik Akita maupun Jep sudah mulai membaca langkah satu sama lain. Mereka setara.

---
Jep sontak tersadar. Alunan lagu merdu sayup-sayup terdengar, semakin lama semakin kentara. Lantunan irama menggerogoti benteng memori Jep, menembus titik terakhir. Ingatan mengenai almarhum Ayahnya seketika lumer di benak Jep. Jep kembali menarik lengan jaketnya dengan enggan, meninggalkan bangku dengan langkah kaku. Keluar ia bersenandung, menyanyikan dengan lirih lirik lagu lama itu. Jep tak sesendu kala itu. Ia melihat bayangannya melekat pada genangan air di bawah kilauan lampu jalan. Semakin lama, bayangan itu mulai menipis diterpa cahaya lampu yang semakin fokus menerangi dua kaki Jep. Sekelebat, tampak bayangan itu menyeringai sinis, tanpa memberikan kesempatan bagi Jep untuk menegurnya.