Malam hari, Jogja hadir dalam kilau yang rancu. Begitu rancu, karena tak seperti apa yang dibayangkan oleh mereka yang sudah lama mendiami kota lengkap dengan nostalgianya itu. Gambaran-gambaran masa lalu yang biasa hinggap di benak tiap orang yang kembali ke kota yang pernah menjadi ibukota Indonesia pada masa revolusi dulu hampir sirna. Jogja, masih meninggalkan jejak-jejak silam, beberapa bangunan tua masih bertengger di singgasananya, hanya tak segagah dahulu.
Ia terhimpit oleh ragam bangunan baru yang berjejer di kiri kanan dengan arsitektur murahan hasil olahan arsitek partikelir. Deretan lampu jalan tak pula memantik memori manusia-manusia yang berjalan di bawahnya. Tak sedikit yang mati, ada pula ukiran lampu yang keropos, termakan usia, luput dari perhatian pemerintahnya. Bahkan, lampu jalan yang terpasang rapi sepanjang Malioboro yang khas hingga ditiru oleh kota-kota lain seolah kehilangan unsur magisnya. Malioboro, kawasan yang entah sejak kapan selalu bisa menghipnotis setiap manusia yang menghampirinya, kini tak lagi sama. Malioboro tetap bertaji, tetap dihinggapi jutaan manusia tiap tahunnya, hanya saja manusianya tak lagi terpaku oleh kemolekan malioboro. Mereka terkesima oleh kilau yang lain.

Entahlah. Mungkin ini hanya disadari oleh Jep semata. Hanya pesimisme belaka. Bisa jadi pemerintah juga sudah memahaminya, namun apa lacur. Data pengunjung Malioboro, atau bahkan Jogja, tak menunjukkan penurunan yang signifikan, bahkan justru meningkat. Buat apa bersusah payah memikirkan sesuatu yang avant-garde bila pundi-pundi kas masih tercukupi? Atau barangkali Jep sudah termakan usia di umurnya yang masih muda. Hei, tunggu dulu...,  bagaimana bisa? Yaa, menurutku di usia hampir seperempat abad ini, ujar Jep, arus informasi yang mengalir di dunia dan dilewati kita, terlalu fantastis, penuh fantasi. Banyak hal utopis yang memabukkan, menakut-nakuti, memanjakan, sehingga kita para manusia ini kelabakan untuk menyaringnya satu persatu. Banyak yang kita lahap sekaligus tanpa disadari, menimbulkan ketergantungan luar biasa terhadapnya, dengan ujungnya yang sangat mungkin untuk bisa membunuh rasa kemanusiaan kita, bila toh itu memang ada. Otak kita pun bekerja luar biasa, bahkan dalam lamunan kesendirian kita di tengah hiruk pikuk kota yang bising. Fakta atau mitos bahwa manusia saat ini hanya menggunakan tak lebih dari sepuluh persen kapasitas otaknya nampak tak lagi jadi soal bagi kebanyakan dari kita. Imaji soal ini yang tersampaikan pada film yang digawangi oleh Morgan Freeman hasil besutan Luc Besson pun lebih kita nikmati sebagai hiburan semata. Bila pun itu itu masuk dalam otak, hanya sekelebat, tergantikan oleh sajian halusinasi material dengan balutan marketing kaki lima yang lain. Tak aneh bila sedikit dari kita yang lalu sempat merasa terasing dengan diri kita sendiri, bukan? Keterasingan yang juga wajar dialami oleh para kakek nenek kita dengan dunia cucu-cucunya, atau ketika hanya menanti tibanya malaikat maut menjemput mereka di panti jompo sambil membisu di sofa kayu, lengkap dengan raut wajah yang bisa dilukis dengan jutaan kata, “Itulah kenapa aku, bisa merasa tua, sama seperti kakek nenek tua itu”, imbuh jep lebih lanjut.

Pada satu waktu, Jep merasa sedih karena ia memikirkan hal demikian. Terlalu berprasangka, terlalu jauh, terlalu dalam. Atau justru terlalu masih di permukaan? Apapun itu, ia merasa kecewa. Tentu akan lebih nyaman bagiku menjalani hidupku, sebagaimana orang kebanyakan. Tak merasa risau, mengikuti kemana matahari terbit lalu terbenam, lalu mati, mungkin reinkarnasi atau justru jadi hantu, begitulah pikir Jep. Tapi ia tak kuasa untuk acuh tak acuh terhadap kesadaran yang dimilikinya kala itu. Ia takut, secara nirsadar ia begitu tergantung pada semua yang semu itu, hingga sulit untuk melakukan sesuatu yang nyata. Terlalu merangsek pada materi duniawi semata. Jep tahu bahwa menjadi manusiawi itu sesuatu yang wajar. Tapi ia takut bahwa ia tak lagi jadi manusia dengan relasi-relasinya yang nyata. Ia malas terjebak pada hubungan sepintas lalu nan maya. Apakah harus ia mengubah jalur hidupnya dalam dunia penuh kerohanian itu, dengan segala aturan untuk menjauhi keduniawian? Mereka yang hidup selibat bahkan sekarang tak lagi murni dari hati. Pemahamanan lebih terhadap semua berbau duniawi justru dimanfaatkan mereka secara licik untuk kepentingan mereka sendiri. Komodifikasi agama di dunia terlampau banyak. Palsu. Maka, terbayanglah pada Jep, raut-raut wajah kakek nenek penuh asam garam dunia itu. Duduk santai menatap jendela dengan teh hangat di mejanya, menyinggungkan senyum penuh sahaja dengan sejuta maknanya, lalu mencecap teh dengan gemetar tangannya, berujar, “YOLO”.