Semar, berdiri mematung di pinggir jurang, menatap kawah Candradimuka yang berada tepat di depannya. Alisnya naik turun, satu tangannya mengepal di pinggang punggungnya, sementara tangan kanannya mengelus-elus dagunya yang menyudut. Kawah Candradimuka saat ini begitu tenang, tak sedikitpun bergejolak, seolah padam. Lava merahnya kian gelap, terlalu matang agaknya. Sejenak, Semar melamun. Semar teringat masa dimana ia, Togog, dan Manikmaya masih tinggal di Nirwana dan bermain di sekitaran kawah. Masih muda dan cakap. Tentu alangkah nyaman hidup bila egonya tak setinggi Mahameru. Hanya gara-gara ingin tahu siapa yang paling kuat dan berhak melanjutkan tahta Sanghyang Wenang, mereka bertiga mencoba melahap gunung. Semar tersenyum, kala ia mengingat-ingat Togog yang menangis meringis melihat mulutnya menjadi lebar nan tebal gara-gara gagal. Sementara diri Semar, yang anak tengah, ketika berhasil, perutnya tak kuasa menopang gunug, hingga badannya menjadi berubah jadi balon. Saking lebarnya ia terlihat cebol. Aih, Manikmaya beruntung, batin Semar. Ia yang berhasil justru tak mencecap hasil. Manikmaya, si bungsu, justru didaulat jadi penguasa dengan gelar Sanghyang Jagatnata.

Semar tentunya hanya pasrah, fisiknya tak seperti dewa lainnya yang elok sempurna. Saat itu ia masih beruntung, Sanghyang Wenang menugaskan Semar turun ke bumi untuk mengasuh keturunan Manikmaya di dunia, alih-alih Togog diharuskan membimbing manusia-manusia yang terjebak untuk kembali ke jalan yang benar, meluruskan hidup orang-orang yang kurang tepat memilih jalur. Mungkin ini takdir anak sulung, mengemban kewajiban paling berat. Bila Manikmaya tak sombong dan tak turut kena hukuman oleh Ayah, tentu Semar bakalan iri. Untunglah Sanghyang Jagatnata sama-sama sepantaran dengan ego tak kalah besar. Bayangkan saja, Sanghyang Jagatnata, penguasa kahyangan dan dunia, tetap punya ego besar, tak ubahnya manusia di bawah sana. Apa kata dunia bila tahu realita yang sebenarnya? Hanya karena modal kesaktian dan gelar, Manikmaya mampu mengukuhkan dan merubah citranya sendiri di hadapan manusia. Tapi mau bagaimana lagi, masa Dewa yang dipuja-puja, kalah ganteng dari manusia? Manusia tentu butuh figur yang cakap, dan diakui Semar, Manikmaya memiliki modal yang lebih dari cukup bagi manusia untuk dipuja-puji.
 
Tetiba Semar terbangun dari lamunannya. Suara dan bau kentutnya yang menyadarkannya. Semar lupa bila ia di atas kawah. Angin tiada lawan disini. Semar berpikir, ia mungkin masuk angin. Barangkali sudah saatnya aku turun, dan kembali ke Arcapada. Ketika ia membalik badannya, tak disangka Sanghyang Jagatnata sudah bertengger dengan kemilau khasnya di atas punggung Andini. Sontak, Semar memicing matanya, berujar pada adiknya itu, “Keberuntungan apa yang hamba tanggung sehingga mendapat kehormatan dari Sanghyang Jagatnata ini?”. “Aku melihat kak Semar sebelum turun ke kahyangan, didorong atas keingintahuan, Aku menghampiri sekaligus ingin menyapa. Apa yang kakanda Semar lamunkan disini?”, jawab Manikmaya. “Hamba hanya ingin menyapa kawan lama sejujurnya. Tak lebih”, seloroh Semar. Manikmaya menghentakkan tumit kanan-nya, menitahkan Andini untuk mendekat ke Semar. Sadar akan kode tersebut, Semar memberi ruang pada Sanghyang Jagatnata untuk bersanding di sampingnya. “Sudah lama agaknya kawah Candradimuka tidak beraktivitas”, ucap Manikmaya seraya memandang ceruk. “Bukankah ini pertanda baik, bahwa di bumi tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh adikku, Sanghyang Betara Guru?”, lanjut Semar menimpali. Betara Guru tak meneruskan pembicaraan, sibuk menerawang agaknya. Kesunyian segera melanda mereka berdua. Sebelum Semar ingin membuka topik baru, Manikmaya berucap, “Pergolakan adalah yang membentuk manusia. Tanpanya, mereka akan hidup dalam kekhawatiran tak berujung”. “Apa gerangan yang hendak Hyang Betara utarakan?”, respon Semar. “Kematian Candradimuka pertanda kemusnahan manusia. Ia mencerminkan baik batil setiap manusia di bumi, refleksi dunia. Kawah inilah yang menjadi panduan bagi para penghuni puncak Mahameru dalam menuntun manusia”.
 
“Bila demikian, apa gerangan langkah Sanghyang Jagatnata untuk menghindari ketiwasan tersebut?”. Sanghyang Betara Guru melirik Semar sebelum kembali menatap cakrawala. “Kakak Semar sungguh waspada. Aku sedang merancang satu pahlawan untuk para Dewa. Ia akan mengambil peran di dunia, membantu agar kita tetap bisa hidup tanpa kebosanan. Ia akan Kuberi kesaktian yang maha dashyat, sehingga sulit untuk mendapat tandingan. Kuasanya di bumi akan bertahan sepanjang hembusanKu. Ia pula akan menjadi patron banyak manusia sepanjang hayat. Karena para dewa membutuhkannya selamanya, ia tak akan pernah mati”, papar Betara Guru.

Semar terdiam. Ia hanya tertegun akan rencana adiknya. Ia mencoba meresapi setiap kata yang keluar dari mulut sang Betara. Lirih angin sayup-sayup terdengar, mencoba memecah kesunyian kedua turunan Sanghyang Wenang itu, namun seketika berhenti. Betara Bayu menyadari kehadirannya sedang tak diinginkan oleh kedua tetua tersebut. Betara Surya sendiri berusaha menghindar, sembunyi dibalik awan. Ia takut kena semprot Ayahnya gara-gara menguping. Betara Narada yang melihat kedua kakak beradik itu, sontak terbang menghampiri setiap anak Sanghyang Jagatnata, meminta mereka semua kembali ke kahyangan. Dewa-dewa dengan enggan menuruti titah patih Nirwana tersebut, layaknya anak kecil belum puas bermain sudah disuruh pulang.

“Pahlawan ini, yang akan menjadi andalan para dewa, akankah titisan Sanghyang Betara sendiri?”, tanya Semar memulai kembali. “Ia bukanlah titisanKu, ia hanyalah lakon lain yang diperlukan keberadaannya untuk memastikan para Dewa untuk tetap hidup. Pada kesempatan-kesempatan tertentu, aku akan memberikan apa yang menjadi keinginannya”, tutur Manikmaya sambil membetulkan posisi duduknya. “Ia adalah wajah lain kawah Candradimuka itu sendiri, yang hidup”, lanjutnya.

“Hamba pikir ini permainan yang sangat berbahaya”, timpal Semar tanpa pikir panjang. “Para dewa tentu akan kerepotan. Bagaimanapun, ini taruhan yang...”. “Dibutuhkan”, iring Manikmaya melengkapi pernyataan Semar. “Bagaimanapun, tak ada satupun dari kita yang ingin kawah Candradimuka ini mati, bukan?”. Semar dan Sanghyang Jagatnata pun lantas tertawa lepas. Gema tawa itu diteruskan oleh kawah Candradimuka hingga ke kahyangan, membuat penghuni Mahameru bertanya-tanya.

...

Tiga puluh tahun berselang, kawah Candradimuka bergetar hebat. Para dewa pun panik dibuatnya. Betara Narada berjalan tergopoh-gopoh menuju singgasana Betara Guru, melaporkan kejadian tersebut. “Hahaha..itu hanyalah ungkapan terima kasih kawah Candradimuka karena anaknya berdiam disana”, komentar Betara Guru diikuti raut kebingungan para dewa yang berkumpul mencari perlindungan Sanghyang Jagatnata. Betara Guru lantas meninggalkan singgasananya, meninggalkan Andini. Tak lama kemudian, ia sudah berhadap-hadapan dengan pahlawan para Dewa itu, bertapa dengan berdiri pada satu kakinya. “Wahai anakKu Rahwana, bangunlah! Tapamu sudah menimbulkan gejolak hebat di kahyangan. Katakanlah keinginanmu...!”, titah Betara Guru.