Pasangan anak muda itu selalu datang setiap malam minggu di kedai makan milikku. Mereka pelanggan tetap. Saking kerapnya, tak hanya para pekerja saja yang hafal, melainkan tamu pengunjung yang lain demikian. Menginjak sabtu malam, setidaknya sejak pukul setengah tujuh malam hingga satu pagi menjelang, tak ada tamu lain yang duduk di bangku meja sejoli. Seolah nama dan bau mereka melekat ketat, terpampang pada spot itu, seolah khusus tamu VIP atau selalu reserved. Padahal, spot itu sama sekali tak mendapat perlakuan khusus saat kubangun kedai ini. Bahkan cenderung seragam, kau sangat mungkin bisa menemukan pola penataan meja kursi ini di restoran lainnya.

Ukuran kedai makan milikku terbilang kecil, meski tak sempit. Aku sengaja mendesain-nya untuk menghadirkan kesan lapang teruntuk pengunjung. Aku pun berkonsultasi dengan seorang kawan lama untuk menata arsitektur dan interior agar bisa memaksimalkan petak bangunan seluas 250 meter persegi ini. Kau bisa menangkap kesan minimalis dan kontemporer dari kedai ini, terutama melihat dari pilihan furniturnya. Furnitur ruangan memang banyak menggunakan kayu pinus dengan polesan sedikit mengkilap dibalut rangka-rangka baja aluminium warna hitam. Berhubung kedaiku bentuknya lebar ke samping, di dinding sebelah kiri terpasang puluhan frame kayu furnished dengan foto potret yang kuambil kala masih senang bermain kamera. Sementara di dinding sebelah kanan, kupasang frame dengan aneka poster festival film yang berkesan saat kukunjungi. Bicara soal poster dan festival, ini juga menarik, namun lain waktu barangkali. Sementara dinding yang memisahkan dengan trotoar jalan dibangun seluruhnya dari kaca setebal dua senti yang dipisahkan oleh pintu kaca dengan ketebalan yang sama. Bedanya, aku memperlakukan kaca kedai mirip seperti kaca mobil. Orang luar hampir tak bisa melihat ke dalam kedai, berhubung lapisan luar kubuat mirip cermin. Sementara, para pengunjung kedai bisa leluasa melihat keluar. Untuk yang satu ini, aku cukup kesulitan kala berdebat dengan kawanku yang arsitek itu. Berhubung uang yang bermain disini milikku, akhirnya ia mengalah dan menyesuaikan segalanya, agar imajiku soal dinding kaca ini bisa terealisasi tanpa dipaksakan. Entah kenapa, aku selalu senang dengan dinding model ini, mungkin karena aku suka menonton apapun, mulai film hingga tingkah polah orang-orang. 

Barangkali itu juga sebabnya pasangan tadi merujuk satu spot dalam kedaiku. Di area kiri pintu, menempel dengan dinding kaca, aku menempatkan tiga meja kayu, dengan posisi semua bangkunya menghadap keluar kedai. Meja yang desainnya sengaja melengkung setengah elips membuat kursi tidak bisa diletakkan berhadap-hadapan sejajar dengan dinding. Meja yang tengah itulah spot “milik” pasangan anak muda itu. Seperti hari Sabtu ini, mereka datang dan seperti biasa aku mempersilahkan mereka untuk duduk sebelum aku menawarkan menu. Seperti biasanya, mereka melihat detil menu-menunya, seolah baru pertama kali datang ke kedai ini. Menu yang biasa mereka pesan jatuhnya itu-itu saja. Tidak sama setiap kali datang, namun seperti dirotasi. Anehnya, mereka tak pernah memesan minuman yang jadi menu andalan yang membuat kedai ini laris dan dirindukan. Padahal secara harga juga mirip-mirip. Setelah memesan dan berterima kasih dengan santun ke pramusaji, mereka mulai mengobrol. Hingga sebelum makanan tiba, mereka biasa berbicara saling menatap satu sama lain. Begitu menu mereka tersaji di meja, tatapan mereka lebih banyak dihabiskan ke arah luar kedai. Entah mereka menikmati tontonan mereka atau bagaimana. Tak jadi soal selama mereka tetap menambah kas kedai. 

Seminggu kemudian, dapur kedai agak kelimpungan. Malam minggu ini pengunjung silih berganti berdatangan. Bila biasanya tamu menghabiskan rata-rata satu setengah hingga dua jam setiap order, kali ini seolah luar biasa bila mereka bisa bertahan di meja diatas satu jam. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam, sudah ada lima orderan untuk dibawa pulang. Padahal baru dua jam kedai ini dibuka. Tentu saja, menu andalan “Roasted Local Beef with Honey Sauce” tetap dinanti. Menu yang biasa dibawa pulang lagi-lagi “sigNature’s Warm Doughnut”, enam donat panggang dengan enam rasa spesial. Nama menunya sengaja mengikuti nama kedaiku, “sigNature” untuk menunjukkan rasa paten pada donat dan memisahkan diri dari donat-donat yang biasa dijajakan di kota besar ini.

Jam dinding klasik yang bergantung mulai berdentang delapan kali. Hingga detik ini, dua batang hidung pasangan spesial tak jua muncul dari balik pintu kedai. Sedikit heran, sampai pelayan bertanya padaku kenapa mereka belum hadir. Aku sendiri agak sewot, seolah kedai di hari sabtu belum lengkap tanpa kehadiran mereka, meski di satu sisi aku juga berpikir hal yang sama. Namun pelayan kedaiku yang satu ini memang cukup awas. Aku pernah memergokinya sedang mengamati si pasangan wanita beberapa minggu lalu ketika datang ke kedai seorang diri.

Sedikit lelah mondar-mandir di dapur dan kasir, aku pun menghibur diri menyapa para pelanggan dan mengobrol sebentar. Aku sempat tenggelam dalam diskusi dengan tamu yang ternyata seorang pengelola festival. Salah satu posternya memang terpampang apik di dinding kedai. Belakangan, ia memberi rekomendasi festival film yang patut aku ikuti selain menawarkan kerja sama dengan kedaiku dengan festival yang dikelolanya. Kami pun bertukar nomor dan ia memberiku satu buklet berisi program festivalnya tahun kemarin, yang kebetulan ia bawa. Tahun lalu aku sendiri tak sempat berhubung harus ikut reuni dadakan dengan kawan-kawan SMA, berlibur ke Timur.

Aku mengamati buklet tersebut, lalu mundur dari pembicaraan dengan si pengelola festival. Melihat tempat si pasangan spesial masih kosong, aku pun memilih duduk disitu untuk membaca. Agaknya kala itu terlalu berat rasanya untuk melihat-lihat isi buklet. Aku pun mulai mengalihkan pandanganku keluar kedai. Kulihat beberapa perempuan muda menenteng tas belanja mereka berjalan melewati kedai. Sepasang suami-istri dengan dua anaknya berhenti tepat di depanku. Lucu sekali melihatnya. Si suami menggendong bayinya di depan sambil menggendong tas. Si istri sendiri melepas pegangan tangan anaknya yang mungkin berumur 6-7 tahun, lalu membuka tas di punggung suaminya. Anaknya yang sudah cukup besar lalu melihat-lihat kaca di depannya. Wajahnya yang polos nampak heran sesaat, lalu ia bermain-main dengan raut rupanya sendiri, membuat aku tersenyum-senyum sendiri sambil geleng kepala. Kesenangan pun berhenti ketika si ibu selesai mengambil botol minuman dan diberikan ke suaminya untuk dipasang di mulut bayi. Anak perempuannya pun kembali ia gandeng dan mereka melenggang pergi. Kepergian mereka memecah konsentrasiku ke si bocah, sehingga pemandanganku sekejap menjadi lebih luas. Mataku mulai mengambil fokus ke seberang jalan yang tak begitu jauh. Mataku memicing. Aku sedikit kaget dengan apa yang kulihat saat itu. Aku melihat pasangan tersebut berdiri berhadapan.