Genre    : Documentary
Director : Zana Briski, Ross Kauffman
Length   : 85 mins.
Country : USA

Area-area liminal kerap dihindari oleh masyarakat, dimana dunia malima adalah pemandangan yang biasa ditemui. Adalah di Calcutta, tepatnya di Shonagochi, merupakan daerah yang disebut dengan red-district, tempat tinggal dan beraktivitas para pelacur, pemabuk dan segala yang berbau malima banyak terjadi. Namun di tempat ini pulalah, seorang fotografer, Zana Briski tertarik untuk tinggal dan merekam kehidupan para perempuan pekerja seks disana. Namun takdir berkehendak lain, Zana dikenalkan dengan beberapa anak kecil disana, yang menggerakkannya untuk mengajari mereka memotret. “Born Into Brothels” merekam proses rekam jejak Zana dan anak-anak didikannya selama workshop memotret.

Kita akan dikenalkan murid-murid Zana, mulai dari Kochi, Shanti, Avijit, Suchitra, Manik, Gour dan Puja Mukerjee satu persatu lewat statement Puja yang dirangkai dengan foto-foto portrait tiap anak. Ya, pada film ini kita akan melihat banyak sekali foto, terutama dari foto-foto yang diambil oleh anak-anak peserta workshop ini. Dengan tampilnya Zana sebagai sosok mentor, ia mengintepretasikan foto-foto anak didiknya dalam beberapa kesempatan, dimana ini memberikan kita informasi tentang background red-district ini. Disisi lain, kita akan mengenal setting film melalui perjalanan tiap anak ketika hunting foto, seperti scene saat mereka hunting di sekitar tempat tinggal mereka, atau saat hunting di kebun binatang. Ini menunjukkan bahwa cerita film ini driven by character. Tetapi tidak semata-mata itu, karena tiap tokoh berada dalam kondisi yang dibuat berdasarkan kesepakatan pembuat film dan subyeknya, pergerakan subyek dalam film ini kemudian tidak serta merta didasari oleh keinginan anak-anak saja, tetapi karena bagian dari “tugas” mereka, untuk memotret. Ini membuat kita sadar bahwa film dokumenter ini menganut mode partisipatif, karena ada peran dari subyek dalam menentukan cerita disini.

Mengambil gambar di distrik merah ini pada realitanya sangat sulit, bahkan dipaparkan pula bahwa anak-anak peserta workshop saja, yang notabene berasal dari daerah situ pun, kesulitan ketika hendak memotret sesuatu. Larangan dan ancaman dari pihak yang dipotret membuat kamera ini terkesan hati-hati, sehingga kita lebih banyak melihat ini selalu tersentral pada subyek film ketika berada di ruang publik. Bahkan untuk merekam kehidupan di jalan, misalnya, kerap diambil dari dalam kendaraan, alih-alih langsung turun ke jalan. Ketika dalam satu kesempatan mampu merekam di jalanan, gambar yang dihasilkan justru goyang dan tidak jelas, menunjukkan kualitas kamera yang mungkin berukuran kecil (demi keamanan, agaknya). Scene yang blurry ini pada akhirnya tidak berguna, dan tidak memberikan efek apa-apa pada kelangsungan cerita, karena terkesan dipaksakan. Namun yang lebih aneh lagi adalah, pada scene-scene awal, Zana dengan tegas menunjukkan keengganannya untuk menggunakan kacamata Barat dalam melihat fenomena di Calcutta tersebut, tetapi melihat pada eksekusinya, kita akan disodori dramatisasi pada scene-scene tertentu yang terlalu berlebihan, seperti pada saat ibu dari Avijit meninggal dan dalam satu scene memperlihatkan rupa Avijit yang sendu dan kosong ditambah background sound yang sendu pula. 

Mode partisipatif sebenarnya menekankan kita tidak melihat pada outputnya, tetapi lebih kepada proses partisipasi itu sendiri. “Born Into Brothels” sangat kuat dan konsisten dalam hal ini, bagaimana dari workshop dan juga film ini, membuka pikiran para subyek dan mampu menunjukkan kita seberapa besar peran lingkungan dalam tumbuh kembang anak, dan dari sini membuat film ini menjadi penting untuk ditonton.