Genre    : Documentary
Director : Anders Østergaard
Length   : 84 mins.
Country : Denmark, Myanmar

Pada tahun 1962, negara Burma dikudeta oleh penguasa militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win, dan dimulailah rezim yang dikenal luas sebagai rezim Junta militer. Upaya menentang terhadap rezim ini mulai terlihat di tahun 1988, ketika devaluasi terjadi, memunculkan banyak gerakan anti pemerintah. Di saat pemilu tahun 1990 dimenangi oleh NLD (National League of Democracy) yang dipimpin Aung San Suu Kyi tidak diakui oleh junta militer, gerakan anti pemerintah semakin menjadi-jadi.



Tahun 2007, pendeta-pendeta Buddhist bergabung dengan masyarakat melakukan demonstrasi besar-besaran. Kondisi saat itulah yang menjadi setting utama film “Burma VJ” karya Anders Østergaard ini. Apabila tidak cermat dalam menonton ini, kita akan menganggap kisruh Burmalah yang menjadi inti cerita ini, padahal bukan. Seperti yang saya utarakan tadi bahwa konflik yang terjadi pada saat itu hanya menjadi latar belakang dari film ini. Burma VJ lebih menyoroti tentang kehidupan para VJ (Video Jockey) atau lebih mudahnya, kameramen wartawan lokal yang bekerja kala itu. Sejak awal kita akan digiring untuk mengikuti kerja Joshua (subyek film) dan kawan-kawannya, bagaiamana mereka mengambil gambar demonstrasi yang terjadi dimana-mana dan mengirimkannya via satelit untuk kantor berita di luar semacam BBC. Ketegangan demi ketegangan dibangun oleh Anders dengan plotnya yang linier, memaparkan momen-momen terpenting kerja Democratic Voice of Burma (DVB) yang dipunggawai Joshua. Keadaan mencekam ketika aksi bentrok antara militer pemerintah kala itu dengan demonstran, yang menangkapi para biarawan Buddhist hingga mahasiswa demonstran, disuguhkan  pada kita, bahkan hingga kemunculan jenazah biarawan, yang mempertegas kekejaman rezim Junta militer.

Visual yang dihadirkan dalam film ini mayoritas berasal dari footage-footage para wartawan lokal, dimana kita akan melihat goncangan-goncangan yang terjadi akibat kamera yang dimasukkan ke dalam tas dalam posisi merekam, menunjukkan kehati-hatian para wartawan tersebut. Pada titik tertentu, goncangan tersebut meningkatkan suspense film ini, namun pada titik yang lain, saya merasa goncangan ini terlalu berlebihan. Akibatnya, kenikmatan dalam menonton pun berkurang. Yang menarik bagi saya justru ada pada re-enactment yang dibuat oleh Anders. Menurut saya, pengadeganan ulang dengan Joshua sebagai subyek merupakan keputusan yang tepat, dan selain meningkatkan ketegangan film ini, juga mampu menampilkan imaji akan kerja para wartawan di kala itu. Peran Anders yang begitu besar dalam pembentukan cerita dalam film ini membuat film yang berdurasi 84 menit ini terasa tidak membosankan, karena kita akan merasa seolah-olah berada di dalam film itu sendiri. Kedekatan dengan si subyek terasa kental dengan shot-shot detail pada gestur Joshua, yang dalam satu waktu frustasi dan cemas, di waktu yang lain terasa tegang. Poin lebih lainnya film ini adalah ketepatan Anders memanfaatkan peluang yang membuat film ini tidak hanya driven by character, tapi juga driven by issue.