Genre    : documentary
Director : Jose Padhila
Length   : 122 mins
Country : Brazil

Film ini akan membawa kita ke Brazil, tetapi bukan pemandangan hiruk-pikuk festival atau panta-pantai indah Brazil dan bangunan-bangunan unik bergaya art deco seperti patung Cristo Redentor yang legendaris di puncak gunung Corcovado, Rio de Janeiro. Bus 174 menyuguhkan sebuah cerita kriminalitas, tentang seorang pencuri yang akhirnya menjadi pembajak bus di Brazil. Akan tetapi, Jose Padilha berhasil membungkus cerita pembajakan bus menjadi jauh lebih menarik. Ia menggiring penonton dengan alur multiplot, mencoba menyelami proses latar belakang pembajakan yang dilakukan Sandro si pelaku pembajakan bus. Ketimbang menyalahkan negara semata-mata, Jose Padilha menyodorkan kisah anak-anak jalanan terlebih dahulu yang menjadi terasing dengan lingkungan. Anak  jalanan menjadi invinsible di antara masyarakat, dan pandangan negatif masyarakat pun terbentuk, yang memposisikan anak jalanan ini kemudian berada dalam kondisi liminal. Pemerintah lewat aparat hukum yang berbuat sewenang-wenang, dan bahkan melakukan pembantaian massal di Gereja Candelaria di pusat kota Rio (yang notabene merupakan tempat bernaung anak-anak jalanan di Rio), menjadi pemantik anak jalanan ini terjun ke dunia negatif, salah satunya Sandro.

Sandro dalam posisi liminal, ditambah pengalaman traumatisnya saat kecil yang melihat ibunya ditikam hingga mati di toko, dan kondisi ekonomi yang terus membelit di tengah ketergantungannya pada narkotika membuatnya berbuat sembrono. Pembajakan bus yang awalnya terpaksa dilakukan karena aksi pencuriannya ketahuan, akhirnya dilakukannya dengan semangat yang berapi-api ketika mengetahui dirinya menjadi perhatian para media. Eksistensinya pun mulai dibentuk, sebagai manusia alih-alih sebagai seorang terasing.

Jose Padilha mengumpulkan banyak sekali footage-footage, mulai dari live footage detik-detik penyanderaan dalam bus hingga gambar tentang kondisi anak jalanan jauh sebelum peristiwa Bus 174. Keragaman data ini mampu diolah Jose Padilha dan membuat cerita film menjadi utuh. Namun disisi lain, kebergantungannya pada footage tersebut membuatnya tidak bisa mengeksplorasi gambar. Beberapa footage mengalami pengulangan, dan gambar yang buram dan tidak jelas membuat kita sebagai penonton tidak bisa nyaman dalam menikmati film. Inilah kekurangan film yang mengangkat bentuk expository investigative. Untungnya pembuat film bisa sedikit menanggulanginya dengan menyajikan plot yang membuat kita para penonton untuk tetap berdebar-debar menanti akhir dari pembajakan. Suspense terbangun dalam film yang berdurasi 150 menit ini, karena Sandro akan mengancam menghabisi sandera di depan mata para polisi dan media massa yang menyaksikan pada senja hari pukul 6, dan Jose pun memanfaatkan waktu ini untuk meningkatkan klimaks para penonton, dan itu berhasil.

Ketika peristiwa berakhir, dan ketegangan berkurang, Jose menyajikan perbandingan gambar antara korban mati dalam pembajakan, yaitu penumpang dan Sandro, di dalam pemakaman mereka masing-masing yang menggelitik kita sebagai penonton. Pada penutup, Jose yang mengusung argumen tawanan yang memaafkan Sandro atas perlakuan yang diterimanya namun tidak memaafkan perlakuannya pada tawanan lain yang akhirnya dibunuhnya, menurut saya cukup tepat. Dalam mode film yang investigatif, filmmaker cenderung untuk menyajikannya secara “obyektif”, dan tidak condong ke salah satu kubu. Film yang sangat menarik, karena membuat para penonton untuk memikirkan kembali tentang perilaku manusia.