Genre    : Documentary
Director : David Gelb
Length   : 81 min
Country : Denmark, Japan

David Gelb dalam dokumenter ini membawa kita ke sebuah restoran kecil berbangku tak lebih dari 15 di sebuah stasiun bawah tanah di Ginza, yang dimiliki oleh Jiro. Jiro adalah seorang koki spesialis penyaji Sushi. Ia menghabiskan separuh waktunya untuk membuat sushi, dan sebagaimana kebanyakan orang Jepang, ia seorang penggila kerja. Sebagai seorang koki sekaligus pemilik restoran, Jiro bekerja dari pagi-pagi sekali hingga restoran ditutup di malam harinya. Rutinitasnya yang padat pun sempat membuahkan cerita yang unik, dimana ia pernah dikira orang asing yang tidur di rumah anaknya, gara-gara anak Jiro hampir tidak pernah bertemu dengan anaknya. Dedikasinya yang tinggi terhadap sushi pun membuat restoran sushi miliknya diganjar penghargaan tiga Michelin Star, sebuah penghargaan internasional untuk restoran yang mana sangat sepadan untuk bahkan ke luar negeri hanya untuk mencicipi makanan yang ada di restoran tersebut.

Penghargaan ini akan terasa wajar bila melihat bagaimana Jiro menjajakan sushinya kepada pelanggan. Kamera dengan DOF sempit disepanjang film menambah efek detail pada proses persiapan hingga ke puluhan jenis sushi yang secara tidak langsung sudah menonjolkan kerincian dan kesempurnaan kerja kreatif Jiro. Eksekusi kamera, meski sangat detail dan baik, sudah bisa ditebak pada cerita yang mengangkat soal produk atau brand.

Masuk pada pembangunan cerita, prosedur film panjang standar dokumenter ala Amerika juga sangat terasa disini, bagaimana subyek itu diposisikan dengan subyek-subyek pendukung lainnya. Sosok Jiro pada film dibangun dari tokoh-tokoh lainnya, seperti anak-anaknya dan para penjual ikan dan beras, bahkan outsider yang sangat penting kehadirannya, yaitu Yamamoto si pengamat kuliner. Adanya Yamamoto memberikan banyak informasi mengenai dunia kuliner, terutama sushi di Jepang, dan sepak terjang Jiro sebagai seorang koki. Upaya sutradara untuk menjaga jarak dengan subyeknya disini berhasil dan sesuai dengan tema film. Namun, ketika masuk pada cerita Jiro dan perjalanannya ke kampung halaman dan beraktivitas disana, cerita itu menjadi kurang strategis pada konten film as a whole.

Aspek menarik yang kemudian kurang disorot adalah cerita di pasar ikan (atau TPI-Tempat Pelelangan Ikan), bagaimana interaksi dan cara pelelang menjual dagangannya dengan melantunkan nyanyian atau berteriak seraya menari berusaha menarik perhatian. Memang bila melihat kembali pada tema film yang cukup spesifik, cerita di pasar seolah keluar dari tema utama cerita, namun sebenarnya tidak, dan lagipula ini merupakan dokumenter panjang. Eksplorasi pada tema pun terkesan nanggung, karena cerita yang sebenarnya multi-layer tidak terbangun dengan apik. Menilik dari konflik film, “Jiro Dreams Of Sushi” sangat menarik untuk disaksikan disini. Interaksi dan juga persaingan antara Jiro dan anak-anaknya, lalu anak pertama dengan anak kedua, menunjukkan bagaimana background kultural keluarga di Jepang sangat kentara, dimana anak pertama selalu meneruskan usaha orang tua, lalu respon anak kedua, Takashi, ketika dibenturkan pada kondisi kakaknya, Yoshikazu. Tekanan Yoshikazu akan sangat terasa disini, karena dari awal hingga akhir, sosok Jiro digambarkan dengan sangat kuat dan seolah sempurna sebagai maestro sushi Jepang.

Film ini sangat menarik apabila ingin mengenal lebih jauh tentang usaha sushi di Jepang, terutama kuatnya kultur budaya Jepang pada lini ekonomi masyarakat.