Genre    : Documentary
Director : Ari Folman
Length   : 90 min
Country : Irael

Representasi Visual : Antara Kolektivitas dan Moralitas

Ari Folman, seorang mantan tentara Israel, selalu mendapat mimpi aneh yang mengerikan setiap kali ia tidur. Dalam mimpinya ia melihat ada 26 anjing liar yang mengejarnya. Keanehan ini pun diceritakan pada temannya, yang kemudian menghubungkan mimpi tersebut dengan perang Lebanon. Folman yang lupa dengan peristiwa tersebut pun semakin terpacu untuk menelusuri mimpinya tersebut. Perjalanannya kembali menyelidiki memori masa lalunya inilah yang menjadi cerita besar film “Waltz With Bashir”.

    Berbeda dengan dokumenter pada umumnya, visual “Waltz With Bashir” semuanya dalam bentuk animasi komikal layaknya sebuah novel grafis. Animasi menjadi pilihan menarik disini, karena apa yang dilakukan Folman adalah mengangkat memori masa lalu yang sudah lewat. Memori tersebut bila divisualkan hanya berupa imaji-imaji belaka, dimana itu mustahil untuk ditangkap oleh kamera, kecuali menggunakan representasi imaji sebagai jembatannya, seperti yang dilakukan dengan Folman. Representasi visual dalam “Waltz With Bashir” memang berasal dari wawancara kawan-kawan sesama veteran perang yang kemudian ditafsirkan oleh Folman. Namun ternyata, proses perjalanan dan wawancara itu sendiri juga dimunculkan sepanjang film. Langkah ini nampaknya dipilih Folman untuk menegaskan posisi filmnya sebagai film dokumenter, ketimbang film fiksi. Misalnya, kita akan melihat interaksi antara Folman dengan temannya di Belanda, yang memperbincangkan perang dengan santai sambil merokok, dimana visual akan apa yang dibicarakan itu muncul tidak hanya berperan sebagai sebuah insert saja, tetapi mempengaruhi alur cerita.

Dari segi cerita, film ini akan membawa kita tidak hanya soal perang Lebanon dan Israel melawan Palestina di daerah-daerah perbatasan serta tragedi Sabra dan Shatila, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana memori akan perang itu bertahan. Kenangan perang direproduksi terus-menerus dalam beragam bentuk. Bila kita menyimak “Bua’s Carpet” karya Duong Mong Thu, memori Bua direproduksi dalam bentuk penyakit epilepsi yang dideritanya semenjak revolusi Viet Cong. Sedangkan dalam “Waltz With Bashir”, memori muncul dalam bentuk mimpi buruk. Selain itu, resistensi memori juga bertahan ketika memori tersebut bersifat kolektif. Duong Mong Thu menunjukkan bagaimana masyarakat di daerah Da Nang memiliki beragam cerita tentang perang, bahkan menjadi perbincangan yang umum terjadi saat nongkrong di malam hari. Sementara Folman memperlihatkan memori kolektif ini ketika ia mengunjungi teman-teman sesama veteran. Memori yang berangkat dari mimpi dan representasi yang dibuat oleh Folman dalam paparan visual di filmnya ini menunjukkan bagaimana perang menunjukkan karakter manusia sebagai ego. Freud mengatakan, mimpi menyimpan makna yang mana sifat gelap manusia terlihat. Moralitas baru bisa terbentuk selama perang, dimana rasa kemanusiaan kita bisa hilang, nafsu membunuh menggelora. Perang yang brutal, membawa memori traumatik bagi para pelaku perang, seperti yang dialami oleh Folman dan kawan-kawannya.

    Kita pun akan melihat film ini lebih sebagai sebuah diari yang sangat personal, yang bahkan jarang diangkat di masyarakat luas, dan karenanya menjadi karya yang penting untuk ditonton. Tentu saja, tak seperti film sejarah perang lainnya, “Waltz With Bashir” tidak akan membuat kita cepat bosan ketika menonton, karena suguhan animasi sepanjang film yang menarik.